ABSTRAK
Keistimewaan Yogyakarta yang telah lama di sandang mendapatkan suatu goncangan dengan di terbitkannya peraturan pemerintah yang baru. Yang tadinya pemilihan kepala daerah tanpa pilkada tetapi dengan peraturan pemerintah yang baru menghendaki agar penetapan kepala daerah harus dipilih melalui pemilihan. Padahal sejak dulu pemilihan kepala daerah yaitu Gubernur dan wakil Gubernur hanya penetapan. Hal tersebut disebabkan karena merupakan sebuah penghargaan yang di berikan presiden Soekarno karena yogyakarta telah memberikan pengaruh yang cukup besar untuk kemerdekaan Indonesia, malah sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta telah merdeka lebih dulu ada.
BAB I
Keistimewaan Yogyakarta yang telah lama di sandang mendapatkan suatu goncangan dengan di terbitkannya peraturan pemerintah yang baru. Yang tadinya pemilihan kepala daerah tanpa pilkada tetapi dengan peraturan pemerintah yang baru menghendaki agar penetapan kepala daerah harus dipilih melalui pemilihan. Padahal sejak dulu pemilihan kepala daerah yaitu Gubernur dan wakil Gubernur hanya penetapan. Hal tersebut disebabkan karena merupakan sebuah penghargaan yang di berikan presiden Soekarno karena yogyakarta telah memberikan pengaruh yang cukup besar untuk kemerdekaan Indonesia, malah sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta telah merdeka lebih dulu ada.
Masyarakat Yogyakarta yang mendukung penetapan terus bergejolak mereka dengan berbagai usaha dan cara berusaha mempertahankan keitimewaan Yogyakarta. Mereka tak rela bila Yogyakarta yang sudah aman, tentram tetapi tiba- tiba ada perturan baru yang mengharuskan pemilihan kepala daerah harus dilakukan pemilu, tetapi pernyataan itu bertentangan dengan amanat yang diberikan oleh Presiden Soekarno yaitu pengahargaan kepada Yogyakarta menyebutkan bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilakukan dengan penetapan. Sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, Yogyakarta adalah sebuah negara merdeka. Sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, Yogyakarta adalah sebuah negara merdeka dengan rajanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tetapi setelah kemerdekaan RI Sultan HB IX menyatakan bergabung dengan RI. Kini ketetapan itu agak terganggu dengan hadirnya Undang-undang No. 32/2004, yang salah satu isinya menetapkan bahwa Kepala Daerah ditetapkan melalui pemilihan umum
The privilege of Jogjakarta which has been accomplished for years get a trouble by the revealation of the new government policy. Initially, the governor is chosen without any election but the new policy regulates that the governor should be selected through an election. Jogjakarta is renowned as having the governor and the vice governor by determination. This happens because the privilege was a reward from Mr. Soekarno, as the first president of Indonesia, to Jogjakarta that has contributed many influential actions to deliver the independence of Indonesia. Jogjakarta even has had its independence before Indonesia had.
The people of Jogjakarta who support the privilege refuse the government policy and attempt to maintain the Jogjakarta privilege. They are not willing to let Jogjakarta which has been safe and peaceful to be distracted by the new policy. Before merging with Indonesia, Jogjakarta was an independent state which was led by Sultan Hamengku Buwono IX. But after the independence of Indonesia, Sultan HB IX states to merge with Indonesia. Recently, the privilege of determining the governor and the vice governor is quite disturbed by the presence of UU No. 32/2004 whose clause says that all governors should be selected through an election.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Isu nasional tentang bagaimana keistimewaan Yogyakarta telah mengangkat beberapa hal dalam kehidupan politik Indonesia baik dari aspek formalitas maupun politis. Dari aspek formalitas, persoalan utama adalah perdebatan tentang kedudukan kesultanan dalam pemerintahan daerah dan posisi sultan sebagai kepala daerah. Dari analisa politis, banyak yang mengkaitkan dengan potensi tantangan politis sultan dalam politik nasional.
Pandangan dari para pengamat, tokoh masyarakat dan politisi hampir seluruhnya menanggapi dua hal di atas. Terdapat dua pembungkus utama dalam wacana ini agar tampak rasional sebagai argumen. Pembungkus pertama adalah bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan model demokrasi Indonesia. Pembungkus pertama ini biasanya langsung disertai pernyataan bahwa Sultan bagaimanapun akan diberi kondisi istimewa dalam proses pemilihan, yaitu tidak memerlukan kendaraan partai politik. Pembungkus kedua sebagai tandingan adalah bahwa demokrasi tidak harus mengambil bentuk pemilihan langsung, karena rakyat Yogya mayoritas menginginkan mekanisme yang telah berjalan sekarang. Masing-masing pembungkus mempunyai pijakan pasal dalam konstitusi. Ada beberapa isu lain yang tidak terformulasikan dengan jelas selama perdebatan beberapa minggu belakangan ini. Hal ini terjadi karena persoalan langsung memanas dan mendorong orang itu mengambil posisi “ini” atau “itu”. Beberapa isu lain yang tidak terangkat jika disadari sebenarnya menggambarkan persoalan yang lebih luas dan penting dalam arah demokrasi Indonesia.
.
.
BAB II
LANDASAN TEORI ADVOCACY COALITION FRAMEWORK
Awal kemunculan ACF bermula dari tantangan Sabatier (1991) kepada para sarjanapolitik untuk meningkatkan kinerja teoritis mengenai proses kebijakan. Pengembanganlogis dan empiris, serta didukung oleh teori-teori politik maka proses kebijakan publik,ternyata menyisakan masalah dalam pengetahuan politik. Banyak studi kasus yangmenghasilkan wawasan yang bermanfat mengenai elemen-elemen, dimana teori tentangproses kebijakan harus diperhitungkan. Namun demikian, studi kasus bukanlahpenjelasan teori umum mengenai bagaimana para aktor politik menciptakan,melaksanakan dan merubah kebijakan umum untuk meningkatkan tujuan dan responmereka terhadap permasalahannya. Secara teoritis dan teliti sebenarnya teori politik dapatmemberikan penjelasan yang memuaskan mengenai aktor-aktor khusus, seperti legislatif,penyetingan agenda, tetapi tidak mampu untuk menjelaskan proses kebijakan secaratuntas. Akhirnya Sabatier (1991), berusaha keras untuk menyumbangkan kemajuandalam membangun teori proses kebijakan dengan menciptakan Advocacy CoalitionFramework (ACF), sementara Moe (1990a. 1990b) menciptakan Structural Choice (SC)dengan inti bahasan adalah memberikan penjelasan tentang “mengapa kebijakan publik dan organisasi melakukan hal tersebut”, sedangkan Ellinor dan Ostrom melakukanpendekatan Institutional Rational Choice (IRC).Cara kerja yang dipakai oleh ketiga ahli kebijakan tersebut adalah dengan menetapkan
POLICY SUBSYSTEM Coalition Policy broker Coalition B a. Policy beliefs a. Policy beliefs b. Resources b. Resources Strategy Strategy regarding guidance regarding guidance instruments instrument Decisions by governmental authorities Institutional rules, resource allocations, and appointments Policy outputs Policy impacts |
LONG-TERM COALITION OPPORTUNITY STRUCTURES 1. Overlapping societal cleavages 2. Degree of consensus needed for major policy change |
RELATIVELY STABLE PARAMETERS 1. Basic attributes of the problem area (good) 2. Basic distribution of natural resources 3. Fundamental sociocultural values and social structure 4. Basic constitutional structure (rules |
EXTERNAL (SYSTEM) EVENTS 1. Changes in socioeconomic conditions 2. Changes in public opinion 3. Changes in systemic governing coalition 4. Policy decisions and impacts from other subsystems |
SHORT-TERM CONSTRAINTS AND RESOURCES OF SUBSYSTEM ACTORS |
Sabatier (Parsons,2000,h.197) berpandangan bahwa pemikiran tersebut adalah hasil sintesa dari beberapa key idea bahwa:
- Proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipahami dalam konteks policy networks dan communities (Heclo,1974; Kingdon,1984; Cook dan Skogan,1991);
- Analisa kebijakan memiliki fungsi enlightenment jangka panjang yang secara perlahan-lahan mengubah argumen yang menyelimuti problem kebijakan (Weiss,1977a; Nelkin,1979; Mazur,1981);
- Keyakinan, nilai dan gagasan adalah hal yang sangat penting tetapi seringkali diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan (Pressman dan Wildavsky,1973; Wildavsky,1987; Majone,1980);
- Factor social ekonomi berpengaruh besar terhadap pembuatan dan outcome kebijakan (Heclo,1974; Hofferbert,1974);
- Belief systems elit memiliki struktur atau hirarki (March dan Simon,1958; Putman,1976).
Dalam sebuah koalisi, para anggota koalisi tidak hanya berasal dari satu organisasi publik saja ataupun privat saja. Sabatier (Schalager dan Blomquist,1996; Trisnawati,2005) pernah mengungkapkan bahwa metode operasi yang dilakukan koalisi advokasi untuk mencapai tujuan antara lain 1) menggunakan dan mengembangkan informasi dalam suatu model pembelaan untuk membujuk pembuat keputusan agar mengangkat alternatif-alternatif kebijakan yang didukung oleh koalisi; 2) memanipulasi forum pembuat keputusan; 3) berusaha mendapatkan dukungan birokrasi yang memiliki wewenang publik dengan berbagai pandangan untuk dijadikannya sebagai anggota koalisi. Ada sistem kepercayaan yang dibangun dari setiap anggota koalisi untuk bekerja sama (interaksi) untuk mencapai serta merealisasikan tujuan yang diinginkan. Itu artinya, tidak menutup kemungkinan anggotanya terdiri dari berbagai aliansi baik publik maupun privat, termasuk peneliti sendiri karena peneliti bisa menjadi the most important member of a dominant advocacy coalition (DAC). Selain karateristik diatas, karakteristik kedua adalah pengaruh berubahnya kondisi eksternal suatu policy subsystem. Ini terjadi karena perubahan kondisi sosial-ekonomi, perubahan terhadap prioritas kebijakan atau hal eksternal lainnya. Karena pada dasarnya, suatu kondisi tidak akan berubah jika tidak ada dorongan eksternal yang menghasilkan pergeseran suatu kebijakan. Dalam ACF, untuk sampai pada proses perubahan kebijakan (policy change) kondisi tersebut sangat diperlukan. Faktor eksternal bisa berpotensi dalam menentukan suatu perubahan kebijakan yang nantinya akan dimonitor dari waktu ke waktu; dijadikan ukuran yang berasal dari kemungkinan dan kekuatan dorongan potensial dari eksternal. Dan sebagai gantinya adalah terjadinya "perubahan kebijakan yang katalitis." Karakteristik ketiga adalah terjadinya policy-oriented learning (POL). Berdasarkan literatur, POL menyiratkan perubahan kebijakan seperti halnya perbaikan kebijakan. Perbaikan tersebut ditandai dengan adanya perbaikan dalam teori kebijakan (pemikiran yang merupakan pondasi dari kebijakan), serta penguatan dari legitimasi kebijakan (kebijakan tersebut diterima oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat (stakeholders). POL berimplikasi pada sebuah perubahan gagasan atau ide mengenai kebijakan yang pada akhirnya berkontribusi pada proses kebijakan (Eberg,1997,h.23-24; Sabatier,1993,h.30). Perubahan tersebut harus dilakukan dengan mengoreksi tingkat kesalahan (correction of errors) dari kebijakan yang ada (Argyris,1978,h.2; Knaap,1997,h.30). Hal ini biasanya menjadikan wilayah kebijakan itu penuh konflik dan tuntutan dari subsystem yang ada. Koalisi-koalisi yang ada akan menggunakan banyak cara dan instrumen untuk bisa memengaruhi kebijakan. Jadi pada intinya, jika ingin berhasil memperbaiki kondisi manusia di masa yang akan datang maka harus ditemukan cara untuk meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan luas kepada seluruh stakeholers (masyarakat) untuk mau dan mampu belajar (policy-oriented learning) melalui kebijakan publik-bukan sekedar mengonsumsi kebijakan publik (rasionalisasi ini diajukan oleh Dunn pada 1971). Perspektif yang memandang kebijakan dari segi pembelajaran dan adaptasi akan memberikan harapan yang lebih besar untuk kemajuan studi kebijakan baik secara analitis maupun realistis (Heclo,1972:106).
BAB III
STUDI KASUS
Lika-Liku sejarah Keistimewaan Yogyakarta
Ciri keistimewaan Yogyakarta terletak pada kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala daerah DIY atau gubernur dan wakil gubernur DIY. Itulah yang diyakini para pendukung propenetapan. Apakah memang begitu substansi keistimewaan DIY? Perdebatan tentang keistimewaan DIY hingga kini memang seperti tak pernah habis.
Perjalanan keistimewaan DIY dalam bingkai NKRI yang bisa dikatakan penuh liku menjadikannya tema menarik yang terus dibincangkan dari warung angkringan, jalanan, kampus, hingga lembaga negara. Satu lagi buku tentang keistimewaan Yogyakarta muncul memperkaya khasanah. Buku itu adalah Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. Buku setebal 201 halaman itu diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Haryadi adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan dosen lepas, sedangkan Sudomo adalah penulis pidato Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono IX dan pensiunan Asisten I Sekwilda DIY.Haryadi dan Sudomo mencoba memasukkan berbagai catatan sejarah untuk melengkapi lika-liku perjalanan keistimewaan DIY. Buku ini memasukkan sisi sejarah, hukum, politik, sampai memberikan saran solusi mengakhiri polemik keistimewaan DIY. Keduanya mengawali penulisan buku dari tinjauan sejarah, mulai dari Kerajaan Pajang, terbentuknya Mataram Islam, dan kemudian lahirnya Kasultanan Yogyakarta.Keistimewaan DIY, menurut Haryadi dan Sudomo, berbeda dengan Aceh. Daerah Istimewa Aceh terbentuk melalui perjalanan panjang, antara lain karena rakyat yang terus-menerus bergejolak dan menuntut otonomi khusus.
Perjalanan keistimewaan DIY dalam bingkai NKRI yang bisa dikatakan penuh liku menjadikannya tema menarik yang terus dibincangkan dari warung angkringan, jalanan, kampus, hingga lembaga negara. Satu lagi buku tentang keistimewaan Yogyakarta muncul memperkaya khasanah. Buku itu adalah Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. Buku setebal 201 halaman itu diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Haryadi adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan dosen lepas, sedangkan Sudomo adalah penulis pidato Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono IX dan pensiunan Asisten I Sekwilda DIY.Haryadi dan Sudomo mencoba memasukkan berbagai catatan sejarah untuk melengkapi lika-liku perjalanan keistimewaan DIY. Buku ini memasukkan sisi sejarah, hukum, politik, sampai memberikan saran solusi mengakhiri polemik keistimewaan DIY. Keduanya mengawali penulisan buku dari tinjauan sejarah, mulai dari Kerajaan Pajang, terbentuknya Mataram Islam, dan kemudian lahirnya Kasultanan Yogyakarta.Keistimewaan DIY, menurut Haryadi dan Sudomo, berbeda dengan Aceh. Daerah Istimewa Aceh terbentuk melalui perjalanan panjang, antara lain karena rakyat yang terus-menerus bergejolak dan menuntut otonomi khusus.
Adapun keistimewaan Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari keputusan Nagari Ngayogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) untuk bergabung dalam NKRI. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, sebenarnya kesempatan bagi Yogyakarta untuk menjadi negara sendiri. Namun, kedua pemimpin Yogyakarta, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, memilih bergabung dalam NKRI.
Soekarno kemudian memberikan piagam kedudukan kepada HB IX dan PA VIII. Piagam kedudukan itu menjadi catatan sejarah penting tentang deal pemerintah RI dengan nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Melalui piagam itu, pemerintah RI mengakui kedaulatan Yogyakarta. Lalu, HB IX dan PA VIII mengeluarkan Amanat 5 September yang menyatakan mereka berdua bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Buku ini secara singkat mengungkapkan kontribusi Kasultanan dan Pakualaman, serta rakyatnya bagi NKRI yang baru berdiri, seperti memberi dukungan fasilitas dan finansial, sampai peran-peran kunci yang dimainkan HB IX dalam mempertahankan NKRI.
Hambatan hambatan DIY
Perjalanan keistimewaan DIY sejak awal tidak berjalan mulus. Ada upaya-upaya menggugurkan keistimewaan DIY. Pemerintah pusat sempat ingin membentuk Komisaris Tinggi yang menjadi wakil pusat di DIY. Namun, rencana itu ditolak HB IX dan PA VIII. Kehadiran komisaris tinggi bisa menjadi salah satu sebab kegagalan sebuah daerah istimewa, seperti yang dialami Surakarta. DIY juga hampir gugur karena tuntutan otonomi oleh DPR Kota Yogya. Secara de jure, DIY baru ada setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, tetapi secara de facto sudah ada sejak tahun 1945. Keistimewaan Yogya ditandai kepemimpinan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Itu merupakan deal awal Yogyakarta dengan RI yang tertuang dalam piagam pengukuhan dan Amanat 5 September. Pada masa Orde Baru, DIY hendak dihapuskan seiring lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1974 yang menekankan prinsip penyeragaman sistem pemerintah daerah meski akhirnya DIY tetap dijamin. Pandangan tentang demokrasi kini dianggap terlalu sempit, yang mendefinisikan demokrasi hanya melalui pemilihan langsung. Meski dipimpin raja, DIY justru sejak awal menerapkan demokratisasi modern dengan keberadaan lembaga legislatif (DPRD). Demokrasi di DIY bertolak dari prinsip takhta untuk rakyat.Menurut buku ini, bila DIY ingin tetap dipertahankan, hendaknya tetap bertujuan menyejahterakan rakyat. Jika substansi DIY tetap memasukkan unsur kepemimpinan Sultan dan PA, raja dan kerabat keraton dituntut memiliki kapasitas dan kompetensi supaya benar-benar dapat menyejahterakan rakyat. Buku ini sangat jelas memihak penetapan Sultan dan PA sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY, sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Buku ini juga cukup banyak mengungkap perjalanan lika-liku sejarah keistimewaan Yogyakarta meskipun secara singkat. Banyaknya hal yang ingin dimasukkan membuat pemaparan dalam bab dan subbab pada buku terkesan terlalu singkat dan padat. Namun, secara umum buku ini memberi pengetahuan yang diperlukan untuk memahami keistimewaan Yogyakarta.
kisruh Pro Kontra keistimewaan jogja
Kisruh di seputar keistimewaan Yogyakarta mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus berlangsung. Kini memasuki ranah yang lebih serius mengenai keinginan masyarakat Yogyakarta untuk referendum terhadap permasalahan tersebut. Jika dibiarkan berlarut-larut ke depannya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perdebatan ini berawal dari pernyataan Presiden Yudhoyono di depan sidang kabinet. Soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi pada 26 November lalu. Dalam perkembangan kasus ini Pemerintah tetap bersikeras. Agar kepala daerah dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Dengan alasan menghargai dan menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", sehingga draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, tetap dipertahankan. Mekanisme pemilihan merupakan sikap resmi yang disampaikan pemerintah, yang kini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sikap ini juga ditunjukkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sedangkan, fraksi-fraksi lain, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan, setuju dengan penetapan. Perdebatan ini masih akan terus bergulir. Karena, pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini sehingga tugas parlemen untuk mulai memperdebatkannya, menyempurnakan draf itu, termasuk juga menolaknya dan membuat versi lain, terhambat oleh sikap pemerintah yang menunda tersebut. Terhadap sikap pemerintah ini yang merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) tersebut, masih dapat diperdebatkan. Memang tak bisa dipungkiri pemilihan kepala daerah telah diselenggarakan atas adanya klausul pasal 18 ayat (4) tersebut melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 lalu. Namun, untuk Pemilihan Gubernur di Yogyakarta, semestinya pemerintah membaca kembali rujukan UU No 32 Tahun 2004 yang telah mengatur secara limitatif dalam Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, "Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini". Jadi penyelenggaraan pemerintahan tetap merujuk UU ini. Rujukan UU No 32 Tahun 2004 itu tepat dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang". Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menggunakan Pasal 18 ayat (4) tersebut, dengan argumentasi bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, sepertinya Pemerintah melupakan. Bahwa, rujukan tersebut sekarang ini masih tetap diperdebatkan oleh banyak kalangan. Terutama yang menolak untuk Pemilihan Gubernur di seluruh Indonesia dipilih langsung. Bagi mereka rujukan Pasal 18 ayat (4) itu hanya mencantumkan kata-kata dipilih secara demokratis, yang menimbulkan asumsi bahwa DPRD tempo lalu dalam memilih Gubernur juga demokratis. Misal, bagi Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah, bahwa "tidak ada perintah konstitusi bahwa pilkada harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Aturan itu beda dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat". Bahkan, Mulyana menegaskan, Pasal 18 ayat (4) juga menyatakan, kepala daerah dan wakilnya tidak dipilih dalam satu paket (pasangan). "Dengan kata lain konstitusi memang tidak mengamanatkan dilakukannya pilkada langsung". Asumsi mereka memang dapat dibenarkan karena rujukan Pemilu dalam konstitusi kita tidak seragam. Misal, Dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dirumuskan: "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Kemudian Pasal 18 ayat (4) dikatakan: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan: "Anggota DPR dipilih melalui pemilu". Lalu Pasal 22C ayat (1) disebutkan bahwa "Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu". Dengan demikian tampak jelas tidak adanya keseragaman dalam merujuk kepada hal yang sama, yaitu pemilu. Seharusnya kata-kata tersebut diseragamkan dengan menggunakan istilah yang baku: "dipilih melalui pemilu". Dari perdebatan ini mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya tetap dipertahankan. Selain untuk penghormatan pemerintah terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga pelestarian kebudayaan kita. Semestinya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR bukan memperdebatkan sesuatu yang telah disepakati tetapi membuat aturan yang terperinci tentang UU Keistimewaan Yogyakarta. Misal tentang prosedur mangkat, atau mekanisme jika terjadi perebutan kekuasaan antara Kesultanan dan Paku Alam dikemudian hari. Banyak lagi persoalan ini yang semestinya harus dijawab dan dimasukkan dalam UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan
Keistimewaan Yogyakarta Yang Harus Dipertahankan
Akhir –akhir ini banyak kalangan yang membicarakan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta tetap berusaha mempertahankan daerah istimewanya dengan berbagai cara, agar pemerintah nantinya tidak akan mengubah sistem pemerintahan di Yogyakarta yang sejak dari massa presiden Soekarno yang menetapkan secara langsung Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur di tetapkan otomatis secara langsung tanpa pemilihan. Tetapi dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang mengharuskan pemilihan gubernur dan wakil gubernur harus di pilih dengan pemilihan, tetapi hal inilah yang membuat warga masyarakat Yogyakarta dan tokoh masyarakat menjadi tidak terima, karena ini menyalahi dengan apa yang telah di berikan oleh Presiden Soekarno kepada Yogyakarta sebagai sebuah penghargaan yang telah memberikan pengaruh cukup besar bagi bangsa Indonesia. Salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang makna keistimewaan DIY.Dari segi kesejarahan, Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda.Hal itu, tak terlepas dari ikatan kuat antara sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat, Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom. Pemerintah harus bisa menjamin keistimewaan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta agar tetap di pertahankan. Pemerintah pusat juga menjanjikan perpanjangan masa jabatan gubernur dan wagub sampai undang-undang (UU) yang mengatur keistimewaan DIY secara detail selesai. Pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tak sejalan dengan Sila IV Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat sebagai amanat demokrasi Pancasila. Jadi, jika gubernur-wakil gubernur DIY tak dipilih secara langsung, bukan pelanggaran atas konstitusi. Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX.Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, kata Joko, terus berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya. Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan, Joko melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku tidak mempersalahkan draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY dari pemerintah yang cenderung memilih opsi pemilihan. Sultan menyerahkan sepenuhnya soal itu kepada mekanisme kerja DPR.Walaupun begitu tidak masalah baginya hal tersebut. Tentunya DPR dalam penyusunan RUUK butuh masukan dari berbagai sumber untuk itu DPR sebelum menyusun RUUK akan melekukan kunjungan ke Yogyakarta untuk memperoleh masukan di antaranya dari Sultan, Paku Alam, masyarakat dan pakar-pakar sejarah. Untukiu berbagi upaya teru dilakukn utukempertahankn keistimewaan DIY mulai dam rakyat kecil hgga wakil rayat yang ada di pemerintan DPD RI
Penundaan RUU Terkesan Reduksi Status Keistimewaan Yogyakarta
Penundaan penyelesaian RUU Keistimewaan Yogyakarta menimbulkan kesan yang kuat bahwa pemerintah akan menghapuskan atau mereduksi status keistimewaan Yogyakarta. Demikian diungkapkan anggota Komisi II DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan mengkritisi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebutkan pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak perlu buru-buru. "Pernyataan Presiden itu kurang pas," kata Ferry, Sabtu (12/9)."Mungkin saja momentum pernyataan itu tidak sesuai kondisi obyektif yang tengah terjadi. Karena Rancangan Undang Undang (RUU) ini sudah sejak tahun 2005 masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Proglegnas)," ujar politisi senior Partai Golkar ini.Karena itu, menurut Ferry, RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta ini sudah menjadi komitmen antara Pemerintah dengan DPR RI agar segera dituntaskan pembahasannya."Tahapan berikutnya sesudah lahirnya komitmen itu adalah adanya kesepakatan antara DPR RI dan Pemerintah, bahwa yang mengajukan naskah RUU adalah Pemerintah. Dan pada tanggal 15 Agustus 2008 keluarlah Surat Presiden tentang pengajuan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut," ujarnya.Sejak itu pula, demikian Ferry Mursyidan Baldan, sudah dimulai pembahasan, dan Rapat Kerja Pertama pada 22 September 2008. Akhir September ia mengungkapkan pula, pada saat ini pembahasan RUU tersebut telah memasuki tahapan penggodokan di lingkup Panitia Kerja (Panja). "Jadi sekali lagi, saya perlu menyatakan bahwa tidak tepat jika disebut (pembahasan ini) ’terburu-buru’," katanya.Substansi yang belum disepakati pun, menurut dia, hanya tentang Pemilihan atau Penetapan dalam hal Kepala Daerah. "Lalu, ternyata kan posisi sebagian besar fraksi setuju Penetapan, sedangkan Pemerintah masih menghendaki Pemilihan. Padahal, jika ini sudah disepakati, maka RUU ini akan bisa terselesaikan pada akhir September ini," katanya.Karena itulah, Ferry Mursyidan Baldan mengingatkan, agar dalam melihat RUU Keistimewaan Yogyakarta, kita harus menggunakan perspektif psiko politik, untuk menempatkan persoalan ini pada semata-mata soal administratif."Apalagi dari segi proses legislasi RUU ini sudah cukup lama dibahas (sejak Agustus 2008), dan dari segi materi yang belum ada kesepakatan tinggal soal Penetapan atau Pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berkaitan dengan posisi Sri Sultan dan Sri Paku Alam," katanya.
Keistimewaan Yogyakarta
Inilah sedikit informasi tentang Keistimewaan Yogyakarta. Seperti kita ketahui bersama bahwa keistimewaan Yogyakarta sering menjadi pemberitaan hangat diberbagai media massa akhir-akhir ini terkait pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Sistem pemerintahan DIY tidak mungkin monarki Apa sebenarnya yang menjadi Keistimewaan Yogyakarta selama ini? Pernyataan itu mungkin sering terlintas dibenak kita, ketika mendengar pemberitaan tentang "Monarki di Yogyakarta". Karena penulis juga sering mempertanyakan tentang apa sebenarnya Istimewa Yogya dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, maka penulis mencoba mencari refrensi melalui media internet yang kemudian pencarian itu bermuara kesitus wikipedia. Dari situs ini sedikit membantu penulis untuk memahami apa sebenarnya Keistimewaan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan berikut adalah sedikit gambaran yang berhasil penulis tangkap dari hasil membaca refrensi dari situs bersangkutan. Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, Yogyakarta adalah sebuah negara merdeka yang berbentuk kerajaan dengan rajanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan HB IX menyatakan diri bergabung ke Republik, dan kemudian disusul dengan Maklumat Sri Sultan HB IX dan Pakulam VIII poda tanggal 5 September 1945. Atas dasar itulah Presiden Soekarno mengeluarkan Piagam yang menetapkan Yogyakarta sebagai daerah Istimewa dengan kepala daerahnya Sri Sultan dan paku Alam, sejak itu Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta dipegang secara turun temurun oleh Raja. Kini ketetapan itu agak terganggu dengan hadirnya Undang-undang No. 32/2004, yang salah satu isinya menetapkan bahwa Kepala Daerah ditetapkan melalui pemilihan umum atau yang biasa disebut dengan istilah pemilukada. Semula pemerintah berniat mengantisipasi keberadaan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, dengan aturan yang tersendiri, namun Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogykarta itu hingga kini tidak jelas nasibnya. Pembahasan Rancangan undang-undang ini menjadi deadlock, padahal masalahnya hanya menyangkut satu pasal saja yakni pasal jabatan Gubernur, dalam hal ini pemerintah maunya Gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Sesungguhnya, jika dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat maka dapat dipastikan bahwa bila Sultan masih mencalonkan diri tak satupun diantara masyarakat Yogya yang mampu menyaingi nya, beliau berpeluang besar untuk terpilih menjadi Gubernur kembali, karena kesetiaan warga Yogyakarta terhadap Sultannya adalah kesetiaan yang tak berbelah bagi, disamping itu juga Sri Sultan HB X memang pantas untuk dipilih sebagai pemimpin, bukan hanya sebatas memimpin Negeri Yogyakarta saja, tapi bahkan pimpinan Nasional. Namun jika itu dilakukan, pertanyaannya adalah dimana letaknya keistimewaan Yogyakarta, karena selama ini yang membedakan DIY dengan propinsi lain hanyalah pada jabatan Gubernur yang dipegang oleh rajanya, sementara daerah lain dipilih langsung oleh rakyat. Tapi jika jabatan tersebut tetap diserahkan kepada Sultan secara turun temurun seperti sekarang ini, maka ini akan melanggar nilai-nilai demokrasi yang kita agung-agungkan, dimana prinsip demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Kebetulan saja saat ini Sultan yang memimpin negeri itu orang tepat dan bijaksana, memenuhi unsur yang terkandung dalam nilai-nilai luhur dan kepribadian masyarakat Yogya, dan dicintai oleh rakyatnya, bagaimana pula jika sebaliknya, meskipun masih jauh kedepan sebaiknya diantisipasi dari sekarang. Itulah sebabnya diperlukan UU, yang mengatur tentang hak-hak istimewa Yogyakarta itu, agar nasib DI Yogyakrta menjadi jelas dan tidak mengambang seperti sekarang. Harus diakui bahwa dalam hal ini pemerintah telah melakukan kesalahan, bersikap teledor dan tidak memberikan sikap yang jelas tentang Rancangan UU Keistimewaan Yogyakarta, dan bila hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin niat Sri Sultan HB X untuk melaksanakan referendum itu benar-benar terjadi. Dan Tidak seorangpun yang bisa menghalangi jika Sultan ingin menanyakan nasib negerinya kepada warganya sendiri, patut diingat, bahwa referendum (bertanya kepada rakyat) itu adalah tradisi khas kesultanan Yogyakarta. Dulu setelah penandatanganan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, sebelum naik tahta Sri sultan HB I bertanya kepada rakyatnya. Kemudian sebelum menyatakan bergabung dengan NKRI, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII juga melakukan hal yang sama, jadi jika saat ini Sri Sultan HB X ingin melakukan referendum, bertanya tentang jabatan Gubernmur kepada rakyatnya, itu artinya beliau hanya sekedar meneruskan tradisi pendahulunya, bukan karena sesuatu dan lain-lain hal. Akan halnya referendum itu menjadi terobosan atas kebuntuan dalam pembahasan RUU dimaksud, maka disitulah letaknya keistimewaan Yogyakarta dia memiliki Sultan yang arif dan bijaksana, lebih cenderung bertanya kepada rakyatnya dari pada menunggu keputusan dari atas, dan bisakah Pemerintah Pusat memahami sikap Sultan ini.
Penetapan Tak Bisa Ditawar Lagi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY menyatakan sikap politik mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Paku Alam (PA) yang bertahta sebagai guberniur dan wakil gubernur(wagub) DIY. Sikap politik itu dituangkan dalam keputusan DPRD DIY yang diambil dalam rapat paripurna (Rapur), Senin (13/12). Surat Keputusan DPRD DIY nomor 54/K/DPRD/2010 itu dibacakan Sekretaris Bambang Hermanto. Pada butir 1 disebutkan, dewan menyatakan sikap mempertahankan DIY sebagai daerah istimewa dalam bingkai dan system pemerintahan NKRI. “DPRD DIY mengusulkan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui mekanisme penetapan, denagn cara menetapkan Sultan HB dan PA yang bertahta sebagain gubernur dan wakil gubernur DIY,”kata Bambang. Dewan juga mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membentuk dan menyelesaikan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY denagn mendasarkanpada aspek historis, filosofis, dan sosiopolitis DIY. Keistimewaan DIY adalah final, namun format dan penyelenggaraan keistimewaan itu perlu dikaji lebih mendalam. Mekanisme pergantian kepemimpinan di DIY sejak Indonesia merdeka telah berlangsung dengan dua model (penetapan dan pemilihan) dan semuanya berjalan sangat baik
MENATA ULANG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Politik dan pemerintahan
Dalam naskah akademis nya jurusan ilmu politik dan ilmu pemerintahan telah menetakkan permasalahan politik dan pemerintah sebagaimana diuraikan berikut ini (PP 2007), terdapat beberapa scenario yang dapat dipilih berkaitan dengan proses pengisian jabatan gurbernur, scenario ini adalah :
Pertama, posisi gurbenur dan wakil gurbenur di tetapkan pemerintah dan berasal dari keluarga keratin menduduki posisi gurbenur sebagaimana praktis yang telah berlangsung selama ini. Keutungan
1. Model ini dapat memenuhi ekspektasi mayoritas public yokyakarta mengenai sumber rekutmen gubenur dan wakil gurbenur ysng berasal dari lingkungan keluarga dan kerabat kesultanan dan pakualam. 2. Model ini dapat meminimalisasi resiko-resiko semisal terjadinya gejolak dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang ditimbulkan sangat terbatas. 3. Model ini dapat dijadikan sebagai instrument untuk melanjutkan proses pelembangan konvensi (kebiasaan) karena secara normative ketentuan mengenai sumber rekutmen semacam ini sudah ditetapkan dalam undang-undang No 3 tahun 1950 dan berbagai undang-undang berikunya. | 1. Model ini membatasi hak-hak politik warga Negara lainnya untuk dapat berkopetensi kejabatan public yang merupakan salah satu substansi dari demokrasi. 2. Model ini dapat mendorong politisasi internal kesultana dan pakualam yang dapat saja merosot menjadi konflik politik internal yang akan berakibat pada (a) merosotnya pamor dan kewibawaan kraton dan pakualam. (b) terpecahnya masyarakat kedalam kutub-kutub politik mengikuti pembilahan dalam kesultanan dan pakualam. (c) secara keseluruhan, dalam rangka jangka panjang, model ini akan mengeser posisi kraton dan pakualam dari pusat kebudayaan menjadi pusat politik yang bertentangan dengan semangat kesejarahan kedua institusi ini sebagai pusat budaya bangsa. |
Sumber naskah Akademik RUUK JPP fisipol UGM 2007
Alternatif pertama ini sesuai dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan kompas yokyakarta secara beruntun selama satu tahun dari desember 2007-oktober 2008, seiring dengan menguatnya isu keistimewaan Yogyakarta.
Kedua, konsep monarki konstitusional di terapkan pembatasan dengan kosekuen, Artinya terdapat pembatasan terhadap apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan kerabat kraton dengan jaminan terfasilitasinya support system untuk kraton. Jabatan politk seperti gubernur dan wakil gurbernur diperebutkan dalam dalam pemilihan umum yang di calonkan dari partai politik. Kekrangan dan kelebihan alternative ini, sebagaimana tertuang dalam naskah akademik JPP adalah sebagai berikut :
1. Peyelenggaraan politik dan pemerintahan bedasarkan prinsip-prinsip monarki kstisional dapat sepenuhnya di tegakkan. 2. Dengan ini, substansi “the king can do no wrong” bisa dicapai dimana parardhya dapat di bebaskan dari resiko-resiko penyelewengan kekuasaan yang sangat mungkin terjadi jika parardhya terlibat dalam mengurusi politik dan pemerintahan nya sehari-hari. 3. Konsekuensi nya model ini akan semakin memperkuat posisi simbolik kesultanan dan pakualam, dan dalam jangka panjang akan semakin mengukuhkan kedua institusi itu sebagai sumber moralitas dan budaya bangsa. 4. Model ini juga akan memfaltasi terlksananya jaminan persamaan hak-hak warga Negara kedalam jabatan public; dan dengannya substansi dari demokrasi dapat sepenuhnya dipenuhi. 5. Model ini dapat memfalitasi kemunculan calon-calon gubernur dan wakil gurbernur yang beragam yang membuat altrnatif pilihan bagi masyarakat semakin luas. Masyarakat, dengannya dapat memilih alternative terbaik sesuai dengan prefrensi masing-masing. 6. Model ini dapat menghasilkan gurbernur dan wakil gurbenur yang sesuai dengan aspirasi dan prefrensi masyarakat. | 1. model ini rawan terhadap resistensi mayoritas masyrakat Yogyakarta yang dapat saja berubah menjadi konflik terbuka. 2. Model ini potensial melahirkan persoalan legitimasi yang rendah dari gurbenur dan wakil gurbenur terpilih. 3. Model ini bisa menjadi instrument yang “memutus” kontinuitas kesejahteraan Yogyakarta dan dengannya potensial untuk mengikis sentralitas kesultanan dan pakualam sebagai inti-inti utama dari keistimewaan yokyakarta. 4. Model ini sangat potensial melahirkan kepemimpinan ganda di Yogyakarta. 5. Model ini potensial melahirkan pola hubungan yang konfliktual dan kesulitan kerjasama antar gurbenur dan wakil gurbernur dengan prarardhya. 6. Model ini kan memfalitasi proses politisasi yang semain mendalam dalam masyarakat Yogyakarta. |
Sumber naskah akademik RUUK JPP Fisipol UGM 2007
Ketiga, model yang mengedepankan kompromi antara model pertama dan kedua. Pada model yang ketiga sebagaimana disimulisasikan oleh jurusan ilmu politik dan pemerintah UGM. Dalam model ini pemerintahan UGM. Dalam model ini keluarga kraton selain anggota prardhya tetap dapat dipilih oleh wakil seperti warga Negara lainnya. Keunggulan dan kekurangan model ini adalah sebagai berikut :
1. Penanaman hak sebagai warga Negara dapat ditegakkan dengan nya substansi keindonesiaan dan demokrasi dapat ditegakakan. 2. Warga Yogyakarta dapat menikmati pilihan-pilihan calon gurbenur semakin beragam. 3. Warga Yogyakarta dapat sepenuhnya menentukan pilihan nya bedasarkan aspirasi dan prefrensi masing-masing | 1. Politisasi pada masyrakat akan berlangsung intens dan meluas. 2. Potensial untuk melahirkan kompetensi dan bahkan konflik antara calon-calon yang berasal dari lingkungan kraton dan pakualam dengan calon-calon diluarnya. Hal ini akan membuka kemunkinan terjadi nya. Hal ini akan membuka kemungkian terjadinya konflik antar kesulanan dan pakualam dengan masyarakat. 3. Pola hubungan konfliktual dan kompetensi diatas dapat berakibat pada kemerosotan legistimasi kesultanan dan pakualam yang akan mengiring kerah berakhirnya peran kedua insitusi itu. 4. Kesultanan dan pakualam dapat terjebak pada fungsi-fungsi yang politis dengan mengabaikan fungsi-fungsi kebudayaannya. Hal ini dapat berakibat pada kemrosotan fungsi kesultanan dan pakalam sebagai pusat budaya bangsa. 5. Model ini dapat menghasilkan kepemimpinan ganda dan potensial untuk melahirkan kesulitan dalam kerjasama antar gurbernur dan wakil gurbenur dengan paradhya. 6. Model ini dapat memfalitasi terbentuknya pada hubungan konfliktual atar gurbenur dan wakil gurbenur dengan pardhya. 7. Secara makro, model ini potensial melahirkan kesulitan-kesulitan pengaturan keistimewaan Yogyakarta. |
Sumber: naskah akademik RUUK JPP Fisipol UGM 2007
Bedasarkan pemilihan ini terdapat beberapa konsekuensi yaiti (JPP 2007,h.57)
1. Institusi monarki dalam pemerintahan provinsi DIY dijabat oleh parardhya keistimewaa terdiri dari sultan sebagai respresentasi institudi kesultanan dan pakualam sebagai respresentasi institusi pakualam.
2. Institusi demokrasi dalam pemerintahan profinsi DIY dilaksanakan oleh gurbenur dan DPRD sebagaimana diatur dalam undang-undag tentang pemerintahan daerah.
3. Gurbenur DIY dan DPRD DIY dipilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB IV
APLIKASI TEORI ACF DAN DISKUSI
AWAL PRO KONTRA KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA
Daerah istimewa merupakan kosakata yang sangat popular dalam khazanah desentralisasi di Indonesia, setidaknya ini sbgai “status” yang melekat salah satunya bagi provinsi Jogjakarta. Dari sudut pandang desentralisasi, pemerintah nasional memberikan pengakuan terhadap keberagaman budaya, asal-usul dan pengalaman sejarah untuk memberikan status instimewa pada yogjakarta. Diyogjakarta, status keistimewaan dikaitkan dengan dominan kepemilikan tanah budaya dan terutama kepemimpinan.keistimewaan dari sisi kepemimpinan, misalnya diwujudkan dengan perangkapan jabatan antara sultan dan pakualam menjadi gurbenur wakil gurbenur DIY secara turn menurun. Tanpa melai demokratis dan elibatkan elemen-elemen masyarakat di luar kraton.
Setelah berumur dari limapuluh tahun status keistimewaan yogjakarta menjadi bahan perdebatan serius oleh berbagai kalangan terutama dipicu dengan lahirnya RUU keistimewaan Jogjakarta., pertama, RUU itu telah membuka ruang public, yang notabene nya sebagai angkah awal untuk mendorong demokrasi local ketika locus politik bergeser kedaerah. Kedua, RUU jelas merupakan keranga formal yang bakal memberikan legislasi formal atas status keistimewaan Jogjakarta, terutama posisi kraton dalam stuktur pemerintahan dan penguasaan kraton terhadaop tanah (sultan Ground) dengan demikian RUU bakal menjadi senjata formal bagi kraton.untuk menguasai sumberdaya ekonomi-politik Yogjakarta.
DIY DAN ADVOCACY COALITION FRAMEWORK
Dalam kasusu DIY ini yang terletak pada pro kontra pemilihan gurbenur dan wakil gubenur. Terdapat dua koalisi yaitu, koalisi pertama yang pro atau setuju dengan aanya pemilihan gubenur dan wakil gubernur adalah pihak demokran yang mengangap bahwa adanya suatu keadilan dan memberi kesempatan kepada masyarakat yang lain untuk berkuasa atau menjadi gubenur. Selain itu para demokran ini mengingin kan adanya suatu hak masyarakat untuk memilih atau pun memilih. Para demokran ini adalah pemerintah republic Indonesia . Pemerintah bersikukuh bahwa pemilihan gubernur harus diadakan secara langsung agar demokratis dan sesuai dengan konstitusi. Bahkan Presiden dalam sidang kabinet mengatakan bahwa tidak boleh ada monarki konstitusional di NKRI yang semakin mengundang perlawanan dari masyarakat.
Dan koalisi kedua adalah para masyarakat setempat. Masyarakat setempat lupa bahwa jauh sebelum NKRI berdiri, Jogja sudah ada. Dalam sejarah perjuangan bangsa melawan penjajah Sri Sultan HB IX menjadi pemimpin terdepan bersama dengan para pendiri bangsa ini. Untuk memperkuat NKRI yang masih tertatih - tatih, pada awal kemerdekaan Sri Sultan bersedia untuk bergabung NKRI. Dengan demikian NKRI semakin kuat. Tidak terhitung lagi pengorbanan beliau untuk bangsa ini. Semasa kepemimpinan Sri Sultan HB IX, Jogja sangat demokratis. Artinya segala keputusan diambil berdasarkan suara rakyat melalui sidang rakyat. Tidak hanya itu, Sri Sultan juga sangat dekat dengan rakyat, tidak heran pada waktu wafatnya banyak orang yang datang bersimpati, menangis untuk melepas kepergiannya. Komunitas Jogja juga merupakan komunitas yang terbuka. Banyak orang datang dari berbagai macam latar belakang sosial, agama, ekonomi, ras, budaya dan bangsa yang berbeda hidup di sini. Mereka mampu hidup dengan baik melebur menjadi satu dengan masyarakat Jogja. Tidak ada konflik sosial yang sampai menimbulkan masalah berlarut - larut. Saat ini Jogja berkembang menjadi kota terdepan di NKRI. Pendidikan dan infrastrukur dinilai baik. Masyarakat jogja ingin pemerintah republic Indonesia ini menyerahkan urusan jogja ke masyarakatnya sendiri. Masyarakat Jogja beranggapan lebih tahu apa yang harus mereka lakukan. Termasuk apabila gubernur berhalangan tetap dalam menjalankan kewajibannya. Pemerintah tidak perlu ragu. Masyarakat Jogja sudah mengantisipasi hal itu. Jadi semakin pemerintah tetap bersikukuh adanya pemilihan gubenur dan wakil gubenur akan lebih mendapat perlawanan rakyat jogjakaea itu sendiri
Aplikasi Teori ACF pada Kasus Polemik Pemilihan Gubernur DIY
Aplikasi Teori ACF pada Kasus Polemik Pemilihan Gubernur D
POLICY SUBSYSTEM/ KEBIJAKAN SUBSISTEM Pro kasus DIY pemilihan gurbeur &wakil gubenut kontra kasus DIY a.komitmen kebijakan a. komitmen kebijakan b. Resources b. Resources Strategi tentang Strategi tentang instumen pedoman instumen pedoman Diputuskan oleh pemerintah yang berwenang kebijakan kasus DIY pemilihan gurbenur dan wakil gurbenur keluaran kebijakan dampak kebijakan |
PENUTUP
KESIMPULAN
Keistimewaan Yogyakarta akhir- akhir ini banyak di bicarakan di kalanagan publik. Dari aspek formalitas, persoalan utama adalah perdebatan tentang kedudukan kesultanan dalam pemerintahan daerah dan posisi sultan sebagai kepala daerah. Dari analisa politis, banyak yang mengkaitkan dengan potensi tantangan politis sultan dalam politik nasional. Terdapat dua pembungkus utama dalam wacana ini agar tampak rasional sebagai argumen. Pembungkus pertama adalah bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan model demokrasi Indonesia. Pembungkus pertama ini biasanya langsung disertai pernyataan bahwa Sultan bagaimanapun akan diberi kondisi istimewa dalam proses pemilihan, yaitu tidak memerlukan kendaraan partai politik. Pembungkus kedua sebagai tandingan adalah bahwa demokrasi tidak harus mengambil bentuk pemilihan langsung, karena rakyat Yogya mayoritas menginginkan mekanisme yang telah berjalan sekarang. Peranan pemerintah dalam pengambilan keputusan sangatlah penting karena ini semua bukan perkara mudah, untuk itu pemerintah alangkah baiknya mengundang perwakilan dari Yogyakarta seperti gubernu, wakil gubernur serta perangkat pemerintahan Yogyakarta sehingga nantinya di hasilkan keputusan yang dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta.
SARAN
Peran pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam menentukan keputusan keistimewaan di Yogyakarta harus secara mendalam tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak karena kalau sepihak akan menimbilkan konflik dari warga Yogyakarta misalnya dalam pengambilan keputusan harus menundang gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta selain itu juga mengundang perwakilan rakyat dari Yogyakarta sehingga nantinya keputusan dalam penyusunan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta sesuai yang diharapakan masyarakat Yogyakarta. Mungkin juga pemerintah harus membuka kembali UU yang mengatur tentang daerah-daerah yang diberikan keistimewaan agar dalam panyusunannya cepat selesai dan keputusannya sesuai dengan apa yang di kehendaki warga Yogyakarta.
Selain itu pemerintah juga harus ingat peranan Yogyakarta dalam kemerdekaan Indonesia. Untuk itu pemerintah harus bisa memberikan kejelasan mengenai Undang- Undang Keistimewaan agar masyarakat Yogyakarta bisa segera tenang dengan adanaya Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarata. Tetapi pemerintah terkesan menunda-nunda terhadap penyusunan Undang –Undang Keistimewaan tentunya kalau hal ini tidak segera terselesaikan gejolak masyarakat Yogyakarta pada pemerintah RI kian meningkat karena tak rela bila susunan kepemerintahan Yogayakarta yang sudah berjalan lancar sejak dulu menjadi kacau.