Jumat, 06 April 2012

MODEL RASIONAL DAN TIPOLOGI KEBIJAKAN LOWI DALAM MEMAHAMI FENOMENA KEBIJAKAN


1.1 LATAR BELAKANG
Model Raasional ini merupakan seebuah  model yang paling terkenal dan luas diterima oleh para pembuat keputusan. Prinsip utama dalam model ini adalah bahwa perencanaan merupakaan suatu proses yang teratur dan logis. Model ini sangat menekankan pada aspek teknis metodologis yang didasrakan pada fakta-fakta, teori-teori dan nilai-nilai tertentu yang relevan. Dalam model ini masalah yang ditentukan harus didiagnosis, ditentukan pemecahannya melalui perencanaan program yang komprehensif, kemudian diuji efektifitasnya sehingga diperoleh cara pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang paling baik.
Selain itu model rasional ini banyak menuai kritik sebagai tidak relistis. Karena, teori ini mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang kurang mencerminkan pada realitas. model rasional berasumsi, bahwa pengambil kebijakan dihadapkan pada persoalan yang nyata, yang dapat didefisikan dengan jelas.
Dan model ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa pengambil keputusan memiliki informasi lengkap, dan karenanya mampu melakukan seleksi alternatif secara rasional komprehensif untuk memaksimumkan manfaat dan meminimumkan beaya. Dalam kenyataan, informasi yang dimiliki pengambil keputusan sangat terbatas, dan waktu yang tersedia untuk mengumpulkan informasi dan mengambil keputusan, juga terbatas. Dengan demikian, proses pengambilan keputusan, tidak mungkin berlangsung secara rasional penuh.

1.2 SEJARAH MODEL RASIONAL
 
Para ilmuwan politik dan para ilmuwan sosial pada umumnya telah banyak mengembangkan model, pendekatan, konsep dan rancangan untuk menganalisis pembuatan kebijaksanaan negara dan komponennya, yaitu pengambilan/pembuatankeputusan. Sekalipun demikian, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik lebih seringmenunjukkan hasrat yang tebih besar dalam mengembangkan teori mengenaikebijaksanaan negara daripada mempelajari praktek kebijaksanaan negara itu sendiri.Walaupun begitu, haruslah diakui bahwa konsep-konsep dan model-model tersebut amat penting dan bermanfaat guna dijadikan pedoman dalam analisis kebijaksanaan, karenakonsep-tonsep dan model-model tersebut dapat memperjelas dan mengarahan pemahaman kila tcrhadap pembuatan kebijaksanaan negara’ mempermudah aruskomunikasi dan memberikan penjelasan yang memadai bagi tindakan kebijaksanaan. Dan disini dibahas bahwa awal sebuah model awal pengambilan keputusan.
 Model kebijakan public rasional (rational public policy making) ini barang kali akar-akar pemikirannya dapat dilacak pada karya Herbert simon berjudul administrative behavior yang, untuk pertama kalinya  diterbitkan pada tahun 1945.
Dalam buku karyanya tersebut simon diantara menyatakan menyatakan bahwa teori-teori administrasi (administrative theories) haruslah menempatkan pengambilan keputusanan dalam posisi stategis, sebagai pesat perhatian utamanya. Simon berusaha meneliti secara cermat bagaimana terjadinya proses-proses yang mengantarkan pada tindakan yang efektif tersebut. Menuru pengamatannya, suatu mendalam “proses-proses keputusan maupun proses-peoses tindakan” dan keperluan iilah kemudian simon beusaha menjelaskan apa yag tercakup dalam proses pembuatan keputusan.
Diawali dengan mendefisikan keputusan sebagi sesuat pemilihan diantara sejumlah alternative, simon menyatakan bahwa pilihan rasional (rational choice) itu mencakup ilihan altrnatif alternative” yang kondusif bagi tercapainya tujuan yang telah dipilih sebelumnya. Dalam pandangna simon, adanya tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dalam organisasi adalah merupakan sesuatu yang penting dan fundamental dalam memberikan makna terhadap perilaku administrasi.


2.1 KERANGKA TEORI
a. Kerangaka teori model Rasional
apa sebuah difinsi dari sebuah model rasional itu sendiri? Model rasioanl menurut Simon, pilihan rasional (rational choice) mencakup pilihan alternative-alternatif yang kondusif bagi tercapainya tujuan-tujuan yang telah di pilih sebelumnya.
maka pembuat kputusan yang rasioanal (rational decision maker) harus memilih alternative yang dirasa paling tepat guna mencapai hasil akhir (outcome) yang diinginkan. Dengan demikian, pembuatan keputusan yang rasioanal `pada hakikatnya mencakup pemilihan alternative terbaik yang akan memaksimasi tingkat kepuasan nilai-nilai pembuatan keputusan pemilihan alternative itu dibuat sesudah di tiadakan analisis yang menyeluruh terhadap alternative-alternatif yang tersedia dan mempertimbangkan segala akibatannya.Simon mengetahui bahwa ada beberapa kesulitan kalau kita mengunakan pendekatan rasional itu.
Kesulitan pertama  adalah  nilai-nilai adalah.: nilai-nilai dan tujuan-tujuan siapakah yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan siapakah yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan? Sudah jelas bahwa organisasi-organisasi yang hakikat nya bukanlah kesatuan-kesatuan yang homogin dan nilai-nilai dari individu-individu yang  terlihat didalamnya. Simon mencoba menjawab masalah ini dengan menyodorkan sebuah argument bahwa “a decision is organizationally rational if it is oriented to the organization’s goals personalally rasional if it s oriented to ythe ividual’s goals. Artinya, suatu keputusan itu disebut rasional secara keorganisasian kalau ia diarahkan pada tujuan-tujuan individu. Pada titik inilah kita justru berhadapan dengan kesulitan kedua.
Kesulitan kedua ialah bahwa keputusan itu bisa saja tidak menyingung sama sekali tujuan-tujuan yang akan dicapai organisasi. Dalam hal ini persoalan yang sama juga muncul apabila kita mengaitkannya dengan dengan kebijakan. Kita tahu bahwa kebijakan pada dasarnya adalah merupakan pernyataan-pernyataan umum yang berisikan harapan-harapan atau kehendak organisasi, pada umumnya diimplemasi kan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang kerapkali mempunyai keleluasaan dalam menerjemahkan pernyataan-pernyataan tersebut, jika misalnya kebijakan itu pada drajat tertentu dibuat atau seidaknya direformasikan seperti ketika ia diimplementasikan, mak kira nya kurang bermanfaat untuk mengacu pada tujuan-tujuan individu-individu atau kelompok-kelompok yang membentukorganisasi.
Kesulitan ketiga, kalau mengunakan model rasioanlnya simon-ialah bahwa di dalam praktik pembuatan keputusan jarang sekali kita temukan orang yang dalam tindaknnya menempuh cara yang sedemikian logis, ekonomis, komperhensif dan terarah seperti itu. Diantara sejumlah alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal itu ialah  ahwa selama proses pengambilan keputusan hampir tidak mungkin untuk pengetahuan manusia mengenai akibat-akibat dari berbagai alternative yang diperlukan juga tidak memadai; dan penilaian terhadap pelbagai akibat tersebut melibat pula masalah keserbatidak kepastian.
Justru karena keterbatasan-keterbatasan pada rasionalistas manusia itulah maka, menurut simon, teori administrasi amat dibutuhkan. Dalam karyanya administrative behavior yang telah beberapa kali kita singgung, secara cerdik simon menyatakan argumennya  sebagai berikut.        
            “Kebutuhan akan teori administrasi terletak pada kenyataan bahwa terdapat keterbatasan-keterbtasan praktis pada rasionalistas manusia, keterbatasan –keterbatasan praktis pada rasionalitas manusia, keterbatasan-keterbatasan itu tidaklah statis, melainkan tergantung pada lingkungan organisasi tempat berlangsungnya keputusan tersebut. Tugas administrasi adalah untuk mendesain lingkungan ini sedemikian rupa sehingga sesorang yang akan mengunakan pendekatan ini dapat mempraktikannya sedekat mungkin dengan model rasional (menilai dari sudut tujuan organisasi dalam keputusan-keputusan yang dibuatnya.”
Dari pernyataan simon diatas Nampak menegaskan betapa perlunya mencari cara-cara bagaimana meningkatkan rasioanalitas organisasi.
Namun, untuk sampai pada hal itu itu kita dihadapkan oleh kesulitan keempat, yaitu bagaimana memisahkan antara kenyataan-kenyataan dan nilai-nilai (facts and values) dan anatara sarana dan tujuan (means and ends), dalam proses pembuatan keputusan. Model rasional yang ideal mendalikan bahwa tujuan telah dirumuskan terlebih dahulu oleh administrator dan kemudian diidentifikasikan berbagi sarana untuk mencapainya. Simon mengakui adanya ejumlah masalah sehubungan dengan skema/model sarana/ tujuan ini, termasuk pula pemisahan antara kenyataan-kenyataan dan nilai-nilai dalam kaitan ini ia bedahlih bahwa sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu tidaklah mengabaikan nilai-nilai dan cara untuk mengatasi hal ini harus ditemukan dalam pembuatan keputusan.
Simon kemudian menyodorkan sebuah pemecahan yang disebutnya sebagai A theory of decision in terms of alternative behaviors possibilities and their consequences. Dimana tugas-tugas pembuatan keputusan ini meliputi langkah pokok (a) mendaftar semua strategi penentuan alternative, (b) memperhitungkan semua akibat yang bakal terjadi dari setiap stategi, (c) melakukan penilaian perbandingan terhadap akibat-akibat yang melekat pada masing-masing strategi.
Kalau kita simak dengan cermat, maka Nampak bahwa model rasional sarana, tujuan yang dikemukakan diatas adalah merupakan pandangan ideal mengenai pmbuatan keputusan dalam organisasi.meski demikian ini tidak berarti bahwa teorinya tentang kemungkinan-kemungkinan perilaku alternative (the theory of alternative behavior possibilities) tidak kalah idealistiknya. Simon rupanya juga menyadari akan hal ini, dan ia kemudian menujukan berbagai cara bagaimana agar perilaku pembuatan keputusan yang sebenarnya dapat berpangkal tolak dari teorinya tersebut.
Sejalan dengan hal itu maka simon, dalam hasil karyanya yang lebih belakangan kemudian menyodorkan sebuah gagasan yang disebutnya bouded rationality.untuk mengambarkan praktik pembuatan keputusan dan dimaksudkan tidak untuk memaksimasi nilai nilainya melainkan untuk sekedar mencapai tingkatan cukup memuaskan disini ata cukup baik. Istilah kepuasan (satisficing) dipakai disini umtuk mengambarkan prose situ, dan dengan rasionalitas terbatas itu maka memungkin kan administrator yang menghadapi keputusan tertentu menyederhanakan persoalannya dengan cara tidak menelaah semua alternative yang mungkin.
Bagi para teoriti penganut model rasioanal, seperti yehezkel dror, jalan menuju kearah perumusa kebijakan yang rasional ini masih terbentang lebar. Dalam hubungan ini agar diperoleh kebijakan rasional, maka yang perlu dilakukan oleh para kebijakan adalah :
1.      Mengetahui seluruh nilai-nilai masyarakat beserta pemberian bobotnya.
2.      Mengetahui secara tepat alternative alternative kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua akibat yang mungkn terjadi dari tiap alternative kebijakan yang dipilih.
4.      Menghitung nisbah antara nilai yang dicapai oleh masyarakat dengan korban yang sudah diberikan oleh mereka bagi tia alternative kebijakan yang sudah dipilih.
5.      Memilih alternative kebijakan yang paling efisien.

Dengan demikian, kalau kita cermati padangan dror tersebut diatas, maka untuk dapat memebuat kebijakan yang benar-benar rasional para pembuat kebijakan dilajutkan menempuh serangkaian langkah berikut.
1.      Merumuskan dan membuat penjenjangan nilai-ilai dan yang dikuasai.
2.      Merumuskan secara spesifik tujuan/sasaran yang cocock dengan nilai tersebut.
3.      Mengidentifikasikan semua pilihan atau sarana yang relevan guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.
4.      Menghitug semua akibat dari pilihan-pilihan tadi dan membandingkan satu sama lain.
5.      Menetapkan pilihan atau mengabungkan pilihan-pilihan yang mengabungkan pilihan-pilihan yang terbaik dan dipandang akan memaksimasi tercapai nilai-nilai yang telah dirumuskan sebelumnya.
Jika kita mencoba menelusuri akar-akar pemikiran dari para pengujur model pendekatan rasional ini, maka kita memperoleh pesan kuat bahwa model ini mendapatkan pada suatu asumsi bahwa pilihan nilai-nilai yang dimiliki oleh.seluruh masyarakat itu dapat diketahui secara persis, serta dapat diberikan pembobotannya.
Dengan kata lain, menuru angapan para penganut model rasional dalam pembuatannya/perumusannya kebijakan public para pembuat kebijakan dituntut untuk mengetahui seluruh nilai-nilai masyarakat dan tidak cukup kalau hanya mengetahui nilai-nilai dari kalangan tertentu akan segolongan kecil warga masyarakat, oleh karena itu mudah dipahami jika pembuatan kebijakan yang rasional ini memerlukan pemahaman yang holistic dan mendasarkan diri pada sejumlah besar skala nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang relevan.
Pembuatan kebijakan yang rasional juga memerlukan informasi yang lengkap mengenai berbagai alternative kebijakan, kemapuan meramal untuk melihat secara cermat akibat-akibat dari kebijakan yang dipilih., dan kejelian untuk memperhitungkan secara tepat nisbah antara biaya dan manfaat yang diperoleh. Pembuatan kebijakan yang rasional juga membutuhkan adanya suatu system pengambilan keputusan yang mendorong terciptanya rasionalitas dalam perumusan kebijakan.
Dan disini penulis ingin meng analisis bagaimana model rasional ini marealisasikannya dalam sebuah pengambilan keputusan. Dalam masalah kebijakan perlindungan dan pemberdayaan TKI.
Perlindungan sosial merupakan suatu kebutuhan yang penting dan sangat mendesak bagi para buruh migran guna meningkatkan kesejahteraannya. Namun demikian, perlindungan sosial yang selama ini telah dikembangkan belum dapat mengatasi kerentanan-kerentanan yang dihadapi oleh para buruh migran, terutama buruh migran perempuan ( BMP ) yang sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi di dalam maupun luar negeri
Di dalam negeri, salah satu permasalahan dalam subtansi hukum nasional dewasa ini adalah masih banyaknya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan. Hal ini terjadi antara peraturan sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Inventarisai yang dilakukan oleh komite pemantau pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan 14,8 % dari sebanyak 709 peraturan daerah yang diteliti secara umum tidak bermasalah.
Seyogyanya, tujuan peraturan perundang-undangan untuk buruh migran adalah untuk melaksanakan keadilan sosial bagi buruh migran dalam hubungan perburuhan. Pada tahap implementasi, hal tersebut dapat dilaksanakan. Misalnya, dengan cara melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan. Dalam konteks ini, menempatkan peraturan-peraturan yang memaksa majikan bertindak lain dari pada  yang selama ini terjadi. Di sisi lain, buruh dan majikan diberi kebebasan untuk mengadakan peraturan-peraturan tertentu, namun peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan pemerintah yang bertujuan mengadakan perlindungan.
Sehubungan dengan hal itu perlu dikembangkan sistem perlindungan sosial yang mampu memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada buruh migran, sehingga buruh migran dan keluarganya dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kepedulian dan peran serta semua pihak baik pemerintah pusat, daerah, maupun organisasi non-pemerintah seperti LSM, serta pemangku kepentingan lain sangat dibutuhkan untuk saling bersinergi dalam menjalankan perannya masing-masing.
Pekerjaan yang dilakukan oleh buruh migran di luar negeri tidak hanya memeberikan keuntungan bagi dirinya sendiri namun juga bagi negara. Dinegara, TKI adalah pendonor devisa paling tnggi di Indonesia. Tidak salah lagi julukan terhadap TKI adalah pahlawan devisa. Selain itu progam TKI bisa menguranggi adanya penganguran di Indonesia. Oleh sebab itu, perlindungan yang seharusnya diperoleh oleh buruh migran hendaknya sebanding dengan resiko yang mereka hadapi sejak masa pra-penempatan sampai dengan purna penempatan.
Visualisasi model pembuatan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan yang rasional dapat dilihat dari gambar bagan berikut ini.




Memngurangi angka pengangguran  untuk masyarakat indonesia
Mencari  dasar-dasar hukumnya , Beberapa peraturan perburuhan memberikan jaminan hukum atas hak-hak mendasar dari kaum buruh (normatif)
Menyusun dan mendaftar nilai-nilai dan sumber-sumber yang diperluakn serta pembobotanya.
1.       Menyiapkan ramalan2 yang menyeluruh tentang biaya dzn manfaat dari tiap alternate tang dipilih
Nilai Politik,  niali organisasi, nilai pribadi, nilai kebijakan, dan nilai idiologi

Biaya yang dikeluarkan untuk pendistribusian TKI ke luar negeri lebih murah setimpal dengan pendapatan perkapita TKI tersebut. Dan adaya devisa Negara yang masuk di dalam keuangan negara
 





2.       Membandingkan manfaat dari tiap-tiap alternative kebijakan yang dipilih dan memilih alternative yang paling tinggi manfaatnya
3.       Menghitung manfaat yang akan diperoleh dari tiap-tiap alternative kebijakan yang dipilih
                                                                                              


Mengurangi angka penganguran masyarakat indonesia
salah satu solusi yaitu dengan mengeluarkan dasar hukum atas perlindungan dan pemberdaaan TKI apa lagi TKI adalah sumber devisa negara

 











Sumber : Thomas R.Dye , Understanding Public Policy, 1978, hal.33. yang dikutip dari Solichin Abdul Wahab (2008; 102).

2.2 TINJAUAN PUSTAKA
Menurut lidbhom, model rasional komperhensif ini ternyata 1) not adapted to man’s limited problem solving capaties of analysys 2) not adaptated to inadequency of information 3) not adapted to costliness of analysys 4) not adaptated to failures in contructing a satisfactory evaluative medhod 5)not adapted to closeness of observed relationships between fact and value in policy making 6) not adapted to the ness of the system of variables with which it contends 7) not adapted to the analyst’s need for strategic sequences of analytical moves; and 8) not adapted to the diverse froms in which policy problems actually arise.
Terjemahannya, dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
1). Tidak mampu menyesuaikan diri dengan keterbatasan manusia dalam memecahkan masalah 2) tidak mampu menyesuaikan diri dengan informasi yang serba kurang 3) tidak mampu menyesuaikan diri dengan analisis biaya 4) tidak mampu menyesuaikan dengan diri dengan kegagalan-kegagalan yang mungkin menyusul dalam menyusun suatu metoda evaluasi yang memuaskan. 5) tidak mampu menyesuaikan diri dengan keterdekatan hubungan antara fakta dan nilai dalam pembuatan kebijakan. 6) tidak mampu menyesuaikandiri dan sifat keterbukaan dari system variable yang satu sama lain mungkin bertentangan. 7) tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai bentuk masalah kebijakan yang senyataya terjadi.
Pada kesempatan lain lindblom,sebagai dikutip oleh Dye, juga menjelaskan berbagai hambatan yang akan dijumpai oleh para pembuat kebijakan jika menreka mengunakan model rasional tersebut dalam pembuatan kebijakannya.
Secara rinci hambatan-hambatan yang dimaksud adalah sebagai berikut      :
1.      Dalam masyarakat sebetulnya tidak ada nilai-nilai yang ada hanyalah nilai-nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok tertentu, bahkan individu-individu tertentu.nilai nilai inipun tidak jarang bertentangn satu sama lain.
2.      Nilai-nilai yang saling bertentangan itu kebanyakan tidak dapat diperbandingkan ataupun diberi pembobotannya misalnya tidak mugkin membandingkan atau member bobot yang setara harga diri individu dengan meningkatnya pajak.
3.      Lingkungan yang melingkupi para pembuat kebijakan khusus nya yang berkenaan dengan system kekuasaan dan pengaruh, akan menghalangi para pembuat kebijakan tersebut untuk mengamati secara cermat seluruh nilai-nilai masyarakat, utamanya nilai-nilai masyarakat, utamanya nilai-nilai dari pihak-pihak yang tidak mempunyai tookoh-tokoh pendukung yang aktifdan kuat.
4.      Para pembuat kebiajakan dalam mengambil keputusan dalam mengambil keputusan tidaklah menyaradarkan diri pada tujuan-tujuan masyarakat, melainkan lebih menyadarkan diri dan dimotivasi oleh hasrat kuat untuk memaksimasi kepentingan-kepentingan mereka sendiri memperkokoh kekuasaan, menigkatkan status, dapat terpilih kembali dalam pemiliha umum, memperkaya diri, dan lain sebagainya.
5.      Para pembuatan kebijakan sebenarnya tidaklah dimotivasi untuk memaksimasi tercapainya tujuan-tujuan akhir melainkan semata-mata dimotivasi untuk sekadar memuaskankan tuntutan-tuntutan, oleh karena itu kebanyakan para pembuatan kebijakan tidaklah berupaya keras untuk menemukan cara yang terbaik, melaikan sekadar berusaha menemkan alternative yang sekira nya bisa dilaksanakan (workable)
6.      Investasi-investasi dalam jumlah besar dalam progam-progam dan kebijakan-kebijakan yang ada sekarang (kerap disebut dengan istilah sunk cost) menjadikan para pembuat kebijakan enggan untuk membuat pertimbangan atau mengambil keputusan yang sama sekali lain dan keputusan yang sama sekali lain dari keputusan yang pernah dibuat pada masa lalu.
7.      Terdapat sejumlah besar rintangan yang akan dihadapi jika dilakukan usaha-usaha untuk mengumpulkan semua informasi yang diperlukan guna mengetahui setiap alternative kebijakan beserta akibat-akibat dari masing-masing alternative kebijakan tersebut, termasuk biaya pengumpulan informasinya, tersedianya informasi itu serta waktu yang tersedia untuk mengumpulkannya.
8.      Kemampuan daya ramal yang dimiliki oleh ilmu sosial  dan ilmu perilaku maupun kemampuan daya ramal dari ilmu fisika dan biologi masih belu cukup memadai untuk dipergunakan sebagai sarana yang andal oleh para pembuat kebijakan guna memahami semua akibat dari setiap alternatif kebijakan yang dipilih.
9.      Para pembuat kebijakan, masih dalam abat kemajuan teknologi dewasa ini memungkinkan dilakukannya teknik-teknik analisis berbasis Komputer, namun sebenarnya tiidaklah memiliki tingkat kemampuan yang memadai untuk memperhitungkan secara pasti semua nisbah antara biaya dan manfaat, utamanya dalam situasi kemasyarakatan yang beraneka ragam nilai-nilainya baik ditilik dari sudut politik, social, ekonomi dan budaya.
10.  Para pembuat kebijakan mungkin mempunyai kepentingan pribadi/ ambisi-ambisi pribadi atau kemungkinan cacat diri yang mencegahnya untuk bertindak secara rasional
11.  Ketidakpastian mengenai akibat-akibat dari pelbagai alternative kebijakan telah mendorong para pembuat kebijakan untuk hanya menempuh/ mengambil alternative kebijakan yang paling dekat atau mirip dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, guna memperkecil timbulnya akibat-akibat yang tidak diinginkan.
12.  Sifat segmental d ari pembuat kebijakan, terutama dilingkungan birokrasi –birokrasi besar, pada umumnya menjadi kendala bagi upaya pengkoordinasian pengambilan keputusan sehingga masukan-masukan dari semua unit organisasi atau masukan dari berbagai macam kelompok ahli mesti dipertimbangkan pada saat mengambil keputusan (dye, 1978)
Walaupun modal rasional ini banyak dikecam oelh para ahli, bahkan ada diantaranya yang secara sinis menyebutnya sebagai “tidak realistis (unrealictic) atau tidak dapat dipraktikan (impracticable)” namun bagi penulis model ini secara konseptual tetap saja penting untuk keperluan analisis. Sebabnya ialah, karena model ini dapat membantu dapat membantu untuk mengidentifikasikan hambatan hambatan yang mungkin terjadi jika pembuat kebijakan ingin menempuh pembuatan kebijakan ingin menempuh pembuatan kebiakan public yang rasional (rational public policy making)
Ditarik kesimpulannya Model rasional atau kadangkala disebut model rasional komperhensif atau model sinoptik ini dikecam oleh pakar ahli lindbom (1963) ham dan hill (1985) dan hogwood dan gunn (1986). Dari kecaman yang paling pedas adalah yang pernah dikemukakan adanya delapan kelemahan pada model rasional yang menyebabkan gagal  berdaptasi atau menyesuaikan diri (failures of adotation).

3. PEMBAHASAN
Didalam melihat suatu model ternyata tidak hanya asumsi-asumsi dari model-model melain kan juga bisa mengunakan sebuah tipologi. Dan disini penulis ingin mengorganisasikan sebuah fenomena-fenomena atau masalah-masalah kebijakan dengan tipologi yang cukup terkenal yaitu tipologi Lowi.
pada tahun 1964, Theodore Lowi telah mengusulkan sebuah tipologi yang menurut pendapatnya, dapat dipakai untuk memahami pembuatan kebijakan public, untuk keperluan itu, katanya, yang dibutuhkan adalah suatu kerangka analisis bersifat umum yang dapat dipakai untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi kasus kedalam seperangkat penelitian yang dapat dievalusi., ditimbang dan dihimpun. Tesis utama lowi adalah bahwa hubungan-hubaungan politik dalam kebijakan itu ditentukan oleh tipe kebijakan; jadi, tiap kebijakan mempunyai tipe hubungab politik tertentu. Dalam mengembangkan tipologi ini, lowi berpendapatan bahwa kebijaka public ini dapat dibagi ke dalam tiga tipe, yakni regulatoris, distributive dan redistributive. Secara ringkas, inti sari dari masing-masing tipe kebijakan ini akan diuraikan dibawah ini.
Kebijakan-kebijakan regulatoris (regulatory policies) pada umumnya bermaksud untuk membatasi jumlah pihak memberi jumlah pihak pemberi pelayanan tertentu (semisal peraturan-peraturan menyangkut izin trayek bagi mobil penumpang umum atau maskapai menetapkan aturan-aturan tertentu dimana kegiatan-kegiatan swasta dapat dilakukan. Pada prinsipnya kebijakan regulative ini mencakup suatu pilihan langsung seperti siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Karena adalah pilihan sepertti itulah maka ada kemungkinana beragam kelompok akan terlibat dalam konflik, tawar menawae dan negoisasi untuk menentukan siapa yang akan menang (atau dimenangkan) dan siapa yang akan kalah (atau dikalahkan)
Kebijakan kebijakan distributive (distributive policies) ialah kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong atau mempromosikan, bisa nya lewat subsidi, kegiatan-kegiatan swasta yang dinilai memiliki nilai social tinggi. Pada tipe kebijakan public semacam ini tidak ada para pihak yang bersangketa karena semua orang diangap bisa memetik manfaat yang setara.
Kebijakan-kebijakan redistributif (redistributive policies) ialah kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kembali kemakmuran-kemakmuran/kekayaan atau benda benda yang diangap bernilai dalam masyarakat. Pada dasarnya kebijakan ini berusaha untuk mendistribusikan manfaat yang berasal dari satu kelompok tertentu kekelompok lainnya. Dengan demikian kebijakn redistributif cenderung bercirikan ideology tertentu dan sering kali melibatkan konflik klas.
TABEL 1 : Tipe kebijakan menurt Tipologi Lowi
REGULATIF
DISTRIBUTIF
REDISTRIBUTIF
Kebijakan kenaikan harga jalan tol


Kebijakan busway



jamkesmas


BLT  (bantuan langsung tunai)


BOS ( bantuan oprasional sekolah)



Kebijakan progam KB (keluarga berencana)


Kebijakan perlindungan dan pemberdayan TKI



TABEL 2 : KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN
TIPOLOGI LOWI
ISU KEBIJAKAN
KELEBIHANAN
KELEMAHAN
Regulatoris
Kebijakan kenaikan harga jalan tol
·         Memperbaiki infrastrktur jalan TOL
·         Mempercepat arus transportasi bagi penguna jalan tol
·         Biaya angkutan/ trasportasi umum naik
·         Biaya bahan/ barang naik
·         Disisi keadilan kenaikan harga jalan tol ini tidak adil karena, harga yang dijangkau sepertinya hanya orang yang mampu membayar yang bisa memanfaat kan kenyamanan jalan tol

Kebijakan busway
·         Mengurangi kemacetan yang ada di Jakarta
·         Memberi kan waktu yang rlatif pendek bagi trasportasi masyarakat jakarta
·         Biaya yang digunakan untuk pembangunan atau pun pekerja untuk memberi pelayanan masyarakat Jakarta membuthkan biaya yang relative banyak
·         Mempersempitnya jalan raya yang dipotong untuk jalannya busway, sehingga semakin parahnya kemacetan yang ada di jalarta
Distributif
·         Jamkesnas (jaminan kesehatan masyarakat)















·         BLT (bantuan langsung tunai)

























BOS (bantuan operasional sekolah)
·         Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit
·         Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin





·         mensejahterakan masyarakat yang kurang mampu
·         memberikan kenaikan biaya hidup masyarakat kurang mampu yang disebabkan oleh kenaikan BBM yang secara otomatis bahan-bahan primer atau kebutuhan-kebutuhan hidup juga ikut naik













·         meringkan kan beban siswa
·         memberikan kesempatan sekolah bagi masyarakat miskin.

·         Rawannya tindak korupsi yang diambil dari pendistribusian biaya untuk kesehatan
Masyarakat













·         Sebagai ajang korupsi atas pendistribusian dana untuk BLT
·         BLT dinilai banyak menghabiskan uang Negara. Dan nilai percuma, masih banyak masyarakat yang miskin.
·         BLT malah membuat berkurang nya produktifitas masyarakat. Karena masyarakat mengampangkan produktifitasnya. Karena masyarakat berpicu akan mendapatkan BLT dari pemerintah untuk biaya hidupnya.
·         Data BLT kurang tepat. Sehingga banyak salah sasaran. Siapa yang berhak mendapatkan BLT.

·         Sebagai arena korupsi dari distribusi dana BOS

·         Ketidaktepatan sasaran pengalokasian dana BOS
Redistributif
Kebijakan progam KB (keluarga berencana)






Kebijakan pemberdayaan dan perlindungan TKI
·         Mengurangi kepadatan penduduk
·         Mengurangi kemiskinan
·         Pengurangan akan kebutuhan sumber daya alam

·         TKI sebagai pahlawan defisa Negara

·         Dengan progam TKI mengurangi adanya penganguran di Indonesia
·         Masih banyak kesadaran/ pengetahuan tentang KB dari masyarakat pingiran/terbelakang.




·         Sampai sekarang TKI belum teroganisir dan belum adanya perlindungan yang layak dari pemerintah

3.1 KAJIAN MASALAH KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN TKI
A.   Kemiskinan Pedesaan, Kebutuhan Dasar dan Kesempatan Kerja

Kemiskinan erat kaitannya dengan pendapatan suatu keluarga untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Pendapatan tersebut diperoleh melalui kerja, baik di sektor formal maupun informal. Pada kenyataannya, angka pengangguran di Indonesia masih menunjukkan angka yang memprihatinkan. Data BPS menyatakan bahwa tahun 2003, 60,43% dari penduduk Indonesia adalah angkatan kerja4 dan 6,88 persennya adalah pengangguran. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003). Meskipun angka ini menurun dari angka tahun 2001, yaitu 8,20 % (BPS, Indikator Sosial Wanita DKI Jakarta, 2002), namun angka ini masih membutuhkan perhatian yang besar. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketimpangan kesempatan kerja merupakan masalah utama dalam proses pembangunan Indonesia. Ketimpangan ini tampak jelas dalam perkembangan angkatan kerja yang berlangsung jauh lebih pesat dibanding kemampuan penyerapan
tenaga kerja. Secara nasional, di perkotaan penduduk yang bekerja penuh5 lebih besar
dibandingkan di pedesaan (79,70 % berbanding 57,84 %) lapangan pekerjaan utama penduduk yang terbanyak adalah di sektor pertanian (47,67%) kemudian baru perdagangan (17,90 %) dan industri (11,80 %) (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003).\Dengan demikian, meski persentase penduduk yang bekerja penuh lebih besar di perkotaan, namun untuk sektor utama lapangan kerja, dengan melihat wilayah geografisnya, lebih dominan di pedesaan. Sayangnya, kesempatan kerja di pedesaan semakin berkurang dengan masuknya teknologi pertanian maupun non pertanian yang menggeser peran yang dulu dikerjakan oleh tenaga manusia. Dilihat dari jenis kelaminnya, sector pertanian lebih banyak dikerjakan oleh perempuan daripada laki-laki (69,32 % berbanding 68,03 %). Oleh karena itu, perempuan yang telah didomestikasi oleh budaya, semakin terpinggirkan oleh perkembangan teknologi tersebut. Ironisnya, banyak perempuan yang memikul beban hidup anggota keluarganya, bahkan perempuan sebagai kepala rumah tangga6 mencapai angka 12,73 % pada 2001 (BPS, Indikator Sosial Wanita DKI
Jakarta, 2002).

B.   Menjadi TKW, Menjawab Kebutuhan Hidup

Banyak perempuan yang menguatkan diri meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk bekerja ke luar negeri dengan tawaran gaji yang lumayan besar bagi mereka yang berpendidikan rendah. Di negeri sendiri terkadang untuk seorang sarjana yang baru lulus pun sulit memperoleh gaji sebesar itu dengan kurs rupiah. Dibwah ini adalah tabel penempatan TKI keluar neger imenurut jenis kelamin pada tahun 2004

TABEL 3 : penempatan TKI keluar neger imenurut jenis kelamin pada tahun 2004

NO
NEGARA PENEMPATAN
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
I
ASIA PASIFIK
1.
Malaysia
3.957
16.050
20.007
2
Singapura
0
3.966
3.966
3
Brunay Darusalam
0
2
2
4
Hongkong
0
959
959
5
Taiwan
370
37
407
6
Korea Selatan
424
46
470

Jumlah
4.751
21.060
25.811
II
TIMUR TENGAH DAN AFRIKA
1
Saudi Arabia
3.435
40.947
44.382
2
Uni Emirat Arab
0
7.122
7.122
3
Kuwaid
1.162
2.304
3.466

Jumlah
4.597
50.373
54.970
III
AMERIKA

Amerika Serikat
5
0
5

Jumlah
5
0
5

Jumlah Total
9.353
71.434
80.786

Sumber : Depnakertrans, Ditjen PPTKLN, Data Januari - Maret 2004
TABEL 4: Jumlah Kebijakan Pemerintahan Bidang Antar Kerja Antar Negara hingga 1994
Jenis kebijakan
Jumlah
Keputusan Presiden
1
Peraturan Menteri
6
Keputusan Menteri
16
Surat edaran menteri
(satu surat menteri keuangan RI)
2
Keputusan Dikorat Jenderal
2
  Sumber : dokumentasi solidaritas perempuan
Meningkatnya jumlah TKW ke luar negeri, sejak 1980-an makin dilegalkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan sedikitnya 27 kebijakan (hingga 1994) yang mengatur tentang itu (lihat Tabel 4). Pemerintah Indonesia sepertinya tidak malu-malu lagi mengkomoditaskan warga negaranya. Fenomena Tenaga Kerja Wanita (TKW) tersebut
dilihat dengan kacamata yang menganggap bahwa pengangguran merupakan representasi peristiwa kemanusiaan yang bisa ditembus dengan menyimak rasio pertumbuhan ekonomi yaitu fungsi investasi dan angkatan kerja. Kacamata demikian menganggap bahwa TKW merupakan pihak yang hanya ingin mendapatkan penghasilan lebih daripada yang bisa didapat di negeri sendiri tanpa melihat latar belakang dan resiko yang ditempuh oleh para TKW tersebut. Sering data TKW hanya diangkakan saja. Hanya dilihat berapa jumlah TKW yang bekerja di luar negeri, penghasilannya dan
berapa devisa yang diterima negara. atau dihukum penjara seumur hidup bahkan dihukum mati. Apabila dikaji lebih cermat, maka apa yang terjadi pada para TKW ini merupakan manifestasi keadaan moral, sosial dan ekonomi di negeri ini. Tingkat kemiskinan yang sangat tinggi dan kesempatan kerja yang terus menyempit, maka yang jadi tuntunan adalah naluri untuk mempertahankan hidup.Bayangkan, para perempuan yang tidak pernah pergi jauh dari rumah, tidak bisa bahasa asing, bahkan tidak jarang di antara mereka bahasa Indonesia pun tidak lancar dan tidak pernah membayangkan tentang negara lain di luar sana. Kota lain di luar pulau yang ditempatinya pun, mereka tidak pernah mempunyai nyali membayangkan apalagi mengunjunginya. Namun, semua ketakutan dan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan harus dijalani meski mereka belum tahu bahaya atau kebahagiaankah yang akan mereka temui di negeri orang. Semua itu mereka lakukan demi mempertahankan hidup. Keinginan memutus belenggu kemiskinan dengan jalan pintas ditambah bukti meningkatnya taraf kehidupan kehidupan TKW asal desanya yang sukses, membuat para perempuan desa berbondong-bondong melamar menjadi TKW, tanpamemikirkan resiko yang akan mereka temui di
negara tujuan. Kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin informasi, politik dan sosial sehingga rentan dan mudah dieksploitasi. Dengan demikian dapat dimengerti bila TKW sering menjadi korban penipuan oleh pihak-pihak terkait dalam proses awal rekruitmen, pemberangkat, masa kerja hingga pemulangan.

TABEL 5 : Penerimaan Devisa dari TKImenurut Kawasan Tahun 2004

kawasan
TKI (orang)
DEVISA (US $)
Asia pasifik
25.811
165.219.108
Amerika
5
259.231.971
Eropa
0
364.452
Timteng & Afrika
54.970
392.623
Jumlah
80.786
425.208.154

Sumber: Depnakertrans, Ditjen PPTKLN, Data Januari -Maret 2004

C.    Derita yang Tak Kunjung Usai

Akhir-akhir ini kita sering dikejutkan dengan berita-berita seputar TKW, mulai dari pemulangan besarbesaran oleh pemerintah Malaysia hingga banyaknya TKW Indonesia yang diganjar dengan hukuman penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati dengan tuduhan melakukan tindak criminal terhadap majikannya. Apabila kita telaah lebih cermat, maka kita akan melihat bahwa sebenarnya kasus TKW tersebut sudah akut dan tidak pernah berhenti menimpa mereka. Setiap saat ada kekerasan, penipuan, pemerasan, penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan dan sebagainya. Masalahnya, apakah hal tersebut diekspos di media atau tidak. Memahami sosok TKW, sebenarnya tidak sekedar perempuan yang bekerja di luar negeri, penghasil devisa dan pahlawan keluarga, melainkan mobilitas mereka yang tersebar di berbagai Negara membentuk pengalaman baru dan menjadi sosok yang lain dari sebelumnya. Hal ini sebenarnya membutuhkan pengelolaan khusus oleh pemerintah. Kenyataan yang sangat memprihatinkan bahwa sumbangan besar TKW berupa devisa negara tidak diikuti dengan upaya yang memadai oleh pemerintah. Mukhlis R. Iuddin, Atase Pendidikan KBRI di Malaysia menyatakan bahwa tidak dipungkiri dari sektor pekerja kasar Indonesia telah meraup pemasukan devisa negara sebesar 1,2 triliun rupiah (Waspada, 28 Agustus 2004). Derita yang dialami TKW tidak saja terjadi di negeri tempat mereka bekerja, namun kekerasan demi kekerasan baik disadari maupun tidak disadari diterima TKW sejak mereka dalam proses pemberangkatan hingga proses pemulangan. Proses kekerasan tersebut meliputi hal-hal sebagai contohnya adalah : pencaloan, penampungan, penempatan kerja, tidak digaji, penahanan dokumen, penganiayaan, meninggal dunia, perkosaan, jeratan hukum. Pebdiesportasian,diskrimanasian, posisi tawar lemah.


TABEL 6  : Tindak Pelanggaran HAM Sepanjang Tahun 2001

BENTUK KEKERASAN
JUMLAH (orang)
Meninggal
33
Diancaman hukuman mati
2
penganiayaan dan pemerkosaan
107
Melarikan diri dari majikan
4.598
Disekap
1.101
Ditipu
1.820
Dilantarkan
14.707
Hilang kontak
24.352
Dipalsukan Dokumennya
32.390
Tidak berdokumen
1.563.334
Dipenjara
14.222
Dideportasi
137.866
DiPHK sepihak
222.157
Dirazia
6.427
Tidak diasuransikan
65.000

TABEL 7 Data TKW Indonesia yang Mendapatkan Kekerasan Selama Januari-Mei 2004

BENTUK KEKERASAN
JUMLAH ORANG
Pelacuran
91
Penelantaran
52
Penipuan
19
Pengusiran oleh Majikan
7
Penyiksaan oleh majikan
5
Strees/sakit
6
Pemerkosaan oleh majikan
8
Meninggal dunia
1


D.    Menengok Peran Negara

Status tidak berdokumen bisa terjadi pada para TKW karena beberapa faktor antara lain sejak awal TKW memang berniat berangkat tanpa melalui prosedur yang resmi karena alasan tertentu11, dimungkinkan oleh kondisi geografis yang berdekatan dengan negara tujuan sehingga dianggap lebih mudah untuk bolak balik tanpa perlu mengurus dokumen terlebih dahulu. Awalnya TKW berniat melalui prosedur resmi namun di tengah jalan dokumen mereka hilang atau ditahan agen maupun majikan, kurang informasi atau bisa juga karena TKW bersangkutan ditempatkan tidaksesuai dengan ijin kerja yang dimi.
Tindak kekerasan yang menimpa TKW dan minimnya perlindungan bagi mereka tidak lepas dari posisinya sebagai pekerja rumah tangga di lingkup domestik, pendatang di negeri orang dan sebagai perempuan. Perlakuan terhadap TKW sepertinya merefleksikan tiga dimensi permasalahan, yaitu eksploitasi berdasarkan posisinya sebagai buruh, diskriminasi sosial sebagai pendatang dan penindasan gender karena keperempuanannya. Bagaimanapun, kerentanan posisi TKW tidak dapat dilepaskan dari sikap dan kewajiban pemerintah. Pihak pemerintah tidak peduli akan nasib warganya karena hingga saat ini belum ada tindakan apa pun untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jangankan untuk menyelesaikan masalah buruh migran seperti yang mendapatkan perlakuan kasar, penyiksaan, perkosaan, pelecehan bahkan sampai dengan meninggal dunia, Memang tahun 2004 ini telah disahkan Undang- Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) yaitu UU No. 39 tahun 2004, namun substansi dari undang-undang ini tidak menyentuh kepentingan tenaga kerja yang tidak berdokumen padahal kenyataannya sebagian besar tenaga kerja yang bermasalah adalah tenaga kerja tidak berdokumen. Ketua Forum Nasional pengembangan Program Penempatan dan perlindungan TKI (FNP4TKI), Saleh Alwaini, menyatakan bahwa UU PPTKILN ini disusun secara tidak proporsional, prematur dan
tidak antisipatif ke perkembangan penempatan TKI ke depan dan program penempatan TKI bukanlah solusi mengatasi pengangguran.
Sementara itu, Keputusan Menaker No. 213 tahun 1989 mengenai Biaya Pembinaan Tenaga kerja ke Timur Tengah memberi wewenang kepada asosiasi perusahaan pengerah tenaga kerja untuk melakukan pungutan pada TKW. Keputusan
tersebut diubah pada tahun 1990 melalui Keputusan Menaker No. 266 dan peran asosiasi diganti oleh Menteri Tenaga Kerja. Selain penertiban prosedur, penguatan perlindungan hukum dan diplomasi politik yang harus dilakukan,
pemerintah juga perlu memikirkan pengelolaan TKW yang kembali ke tanah air. Perlu disadari bahwa TKW bukanlah solusi untuk mengatasi pengangguran, jadi pengelolaan lapangan kerja tetap harus dimasukkan dalam agenda rancangan pembangunan daerah. TKW yang kembali ke tanah air adalah orang yang berbeda dan telah mengalami perubahan dalam berbagai hal dibanding sebelum mereka berangkat. Dari perempuan yang tidak pernah bersentuhan dengan teknologi, kemudian menjadi sosok yang akrab dengan teknologi.
4. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, Fenomena tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang 90 % di antaranya adalah perempuan, mempunyai dua sisi yang hasilnya tergantung bagaimana pengelolaan dan penataannya. Satu sisi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menghasilkan devisa bagi negara dalam jumlah yang tidak sedikit, menjadi satu alternatif lapangan kerja meskipun bukan solusi pengentasan pengangguran, dan memberikan pengalaman dan keterampilan bagi para perempuan yang dulunya tidak tahu apa-apa bahkan bisa meningkatkan taraf hidup mereka. Di sisi lain, akibat prosedur dan mekanisme yang belum jelas dan tidak tertata, banyak permasalahan yang dihadapi para TKW hingga kini. Belum ada kebijakan perlindungan yang jelas baik dari perusahaan yang mengirimkan TKW maupun dari pemerintah.



B. REKUMENDASI
Sebagai pihak yang mempunyai kewajiban terhadap kehidupan warga negaranya, seharusnya negara atau pemerintah bertanggung jawab atas segala permasalahan yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Bahkan dalam UUD 45 disebutkan, bahwa warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan hak ini wajib dipenuhi oleh negara melalui suatu rancang bangun system lapangan kerja di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Website

Ø  SUMBER BACAAN
·         Abdul Wahab, Solichin, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang, UMM Press.
·         Abdul Wahab, Solichin, 2008, Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara