Selasa, 17 Januari 2012

POLITIK KEKERABATAN BERWAJAH INDONESIA

LATAR BELAKANG
Dunia perpolitikan di negeri ini paska reformasi, kini mulai menampakan sisi-sisi kelam. Selain mengendor nya partai politik dalam menyelenggarakan pendidikan politik bagi warga bangsa, juga terekam berkembang nya "politik kekerabatan" yang tampak semakin nyata dan transparan. Pewarisan jabatan politik seperti sedang mencari pola kecil hingga mencapai sebuah kesempatan.
Untuk menjaga kedua kepentingan strategis itu mereka tak mungkin menyerahkan kepada orang lain, kecuali kepada kerabat sendiri. Dengan kata lain, elite politik lebih menaruh kepercayaan kepada orang yang terikat hubungan darah. Dalam tradisi politik kekerabatan ada ungkapan yang amat masyhur, blood is thicker than water atau darah lebih kental dari air. Dengan demikian, sirkulasi kekuasaan hanya akan berputar di kalangan anggota keluarga sendiri dari satu generasi ke generasi berikutnya.
betapa pola relasi politik berdasarkan ikatan kekerabatan jauh lebih kuat, solid, dan tangguh, sebagaimana dilambangkan oleh darah yang kental. Ini berbeda dengan pola relasi politik yang murni bersifat kontraktual-fungsional atas dasar kesamaan kepentingan. Seperti air, pola relasi politik model ini gampang mencair dan memudar. Karena itu, elite- elite parpol berupaya mentransformasikan hubungan interpersonal yang bersifat kekerabatan itu ke pola hubungan yang semi formal dan terlembagakan di partai. Proses demikian itu secara teknis disebut semi-institutionalized interpersonal dyadic or tryadic. Dengan demikian, elite-elite parpol mempunyai daya kontrol dan cengkeram yang kian kuat atas partai beserta aneka jenis economic-political resources yang ada di dalamnya.
Selain itu praktik politik kekerabatan ini pula juga akan merusak makna dari demokrasi, khusus nya adalah sebutan Negara Indonesia adalah Negara demokrasi. Proses demokrasi bedasarkan prinsip demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau memilih. "Mereka berperilaku seolah-olah mengikuti proses demokrasi. Padahal, mereka merusak demokrasi itu prinsip demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau memilih. "Mereka berperilaku seolah-olah mengikuti proses demokrasi. Padahal, mereka telah merusak demokrasi itu
Praktik Politik kekerabatan itu pula akan mempertanyakan adanya sebuah kemajuan. Yang mana actor yang muncul dalam proses demokrasi ini berputar di sekitar itu-itu saja. Tidak muncul variasi actor. Jika actor itu memiliki sebuah kinerja yang baik mungkin akan ada sebuah kemajuan. Tetapi jika actor itu tidak punya kinerja yang baik mungkin juga malah kemunduran yang di dapatkan nya.

MAKNA KEKERABATAN
menurut M. Yahya Mansur ( 1982:13 ) mengutib dari Fred Eggan Kekerabatan adalah lembaga yang bersifat umum dalam masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan tingkah laku dan susunan kelompok. Ia adalah bentuk dan alat hubungan social. Unsur-unsurnya adalah keturunan, perkawinan, hak dan kewajiban serta istilah istilah kekerabatan. Secara keseluruhan unsur-unsur ini merupakan satu system dan dapat dilihat sebagai pola tingkah laku dan sikap para anggota masyarakat. Setiap masyarakat mengenal hubungan social, baik karena keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat. Jaringan- jaringan hubungan social ini merupakan sebahagian dari struktur social masyarakat baik sederhana maupun kompleks[1]
System kekerabatan dan perkawinan memainkan peranan penting dalam memelihara ikatan kelompok dan solidaritas. Sebagai suatu system, kekerabatan mempunyai kategori- kategori social yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para anggotanya.( Fred Eggan,1972 Hal 1972 ).[2]
Selain itu juga hubungan kekerabatan terjadi Karena adanya hubungan patron klien. Scott ( 1992 ) mengatakan bahwa hubungan patron klien adalah “….a special case of dyadic ( two person ) ties, involving a largely instrumental friendship in wich an individual of higher socio-ekonomic satus ( patron ) uses his own influence and recources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status ( client ) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to the patron” ( 1992: 92 ) (….suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebahagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudkan social ekonominya ( patron ) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang di milikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya ( klien ) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termaksud jasa pribadi, kepada patron ) Agar hubungan ini dapat berjalan dengan mulus, di perlukan dengan adanya unsur-unsur tertentu di dalamnya. Unsur pertama adalah bahwa apa yang di berikan oleh satu pihak adalah suatu yang berharga di mata pihak yang lain., entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa dan bisa berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian ini pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya sehingga terjadi hubungan timbale balik, yang merupakan unsur kedua dalam relasi patron-klien. Adanya unsur timbal balik inilah, kata Scott, yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal ( formal authority). Selain itu hubungan patronase ini juga perlu di dukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memugkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya ( klien ) melakukan penawaran, artinya bila mana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak member seperti yang di harapkan, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tampa terkena sanksi sama sekali.[3]

FENOMENA POLITIK KEKERABATAN DI INDONESIA
Politik kekerabatan di beberapa daerah di Indonesia
Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai menonjolnya politik ‘keluarga besar’. Masuknya kepala daerah mengirim isteri, anak, menantu, dan kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak reformasi partai-partai politik terus melanjutkan tradisi ‘kekeluargaan’ ini.  Yang sangat dekat adalah munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent.
Di Lampung, Rycko Mendoza ZP, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP sebagai Bupati Lampung Selatan; anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma sebagai Bupati di Pesawaran.Di Tabanan, Bali, ada Ni Putu Eka wiryastuti yang juga anak Bupati sebelumnya. Sedangkan di Kediri ada Haryanti Sutrisno, yang tak lain adalah istri Bupati juga. Di Cilegon, Banten, ada Imam Aryadi yang juga Putra Walikota. Sedangkan di Bantul, Yogyakarta, Sri Suryawidati yang juga istri Bupati sebelumnya, Idham Samawi, terpilih sebagai Di Indramayu, ada nama Anna Sophanah yang juga terpilih sebagai Bupati. Suami Anna, sebelumnya juga Bupati.[4]
Sirkulasi elit politik pun ibarat kisah zaman kerajaan-kerajaan. Kekuasaan dialihkan dan diserahkan kepada anak atau sanak famili lainnya. Jika di zaman Suharto, ‘roh kekuasaan’ seolah berputar di sekitar Cendana, dengan politik berbasis ‘keluarga besar’. Hal inilah adalah sebuah “penyakit”. Bukannya menghilang, Nepotisme malah semakin menjadi-jadi saja, dan berlangsung melalui mekanisme elektoral yang ‘demokratis’.
Praktek Nepotisme telah ditunjukkan oleh penguasa dengan mengisi beberapa posisi kekuasaan strategis dari kalangan sanak keluarga dan kerabat terdekat. Akibatnya, Nepotisme berkembang menjadi hegemoni yang bermuara pada praktek Korupsi dan bentuk konspirasi lainnya yang berujung pada penumpukan kekuasaan. Demikian pula Nepotisme dengan sendirinya menutup ruang kekuasaan masyarakat yang mempunyai hak dipilih dan memilih dalam sistem demokrasi. Bahkan, demokrasi bisa dikatakan “mati suri” berganti sistem kekuasaan aristokrasi di mana calon penguasa sudah ditentukan oleh penguasa sebelumnya. Politik dinasti sah-sah saja sepanjang calon yang maju memiliki kemampuan dan rekam jejak yang baik. Namun untuk mengisi jabatan publik dan politik jauh lebih baik dilakukan dengan cara merekrut orang sesuai kemampuan dan kompetensi. Politik kekerabatan pastinya menciptakan banyak potensi negative yang muncul. Selain Nepotisme, tentunya ke tidakadilan bagi penerapan hukum akan terjadi, serta menghambat proses konsolidasi pembangunan demokrasi. Suatu fenomena yang mengundang perhatian banyak kalangan karena rentan terjadinya hal-hal negatif menyangkut kekuasaan. Hal ini terbukti pada periode 2010 lampung dan banten masuk dalam provinsi 15 terkorup versi ICW.[5]

Fenomena politik kekerabatan oleh presiden susilo bambang yudhoyono
nama Ani Yudhoyono yang mencuat dalam survei yang dirilis oleh IndoBarometer sebagai calon Presiden, menurut Saan, boleh saja dipertimbangkan. Tetapi Saan yang juga Sekretaris Fraksi Demokrat itu menegaskan bahwa bagi Demokrat bukan hal yang sulit untuk mendapatkan capres 2014 nanti. Demokrat akan mengusung capres berdasarkan mekanisme seleksi yang objektif.
"Banyak kader dan tokoh yang bisa dengan gampang Demokrat dapatkan untuk dicalonkan nanti. Mungkin salah satunya adalah Ibu Ani. Tapi kan kami nanti ada mekanisme penjaringan. Kami tidak akan pernah kesulitan untuk mendapatkan calon presiden di 2014," kata Saan. (viva news Senin, 10 Januari 2011, 11:09 WIB)[6]
dunia perpolitikan di Indonesia ini sesudah reformasi semakin mengutamakan system kekerabatan. Seperti yang dilakukan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Dengan kedua periode ia menjadi presiden ia tidak bisa lagi mecalonkan diri sebagi seorang prsiden lagi. Dengan itu ia menjadikan istrinya ibu Ani Yudhono sebagai capres dari partai demokrat. Alasannya cukup sederhana agar republik indonesia ini akan tetap berhasil dan maju.
Selain itu, Edhie Baskotro Yudhoyono yang notabene anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi caleg dari Partai Demokrat. Tak hanya anak, ipar pun menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Tak hanya anak saja, namun juga saudara atau adik, kakak juga turut serta 'meramaikan' ajang pemilihan caleg pada tahun 2009[7]
Calon presiden 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono, juga mengklarifikasi rumor putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono, disiapkan menjadi mengambil alih pucuk Partai Demokrat. SBY menyatakan, untuk lima tahun ke depan, Edhie Baskoro atau biasa dipanggil Ibas cukup menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat saja.
Ibas yang kelahiran tahun 1982 itu, kata SBY, masih seorang anak yang perlu belajar. Seorang pemimpin, ujar SBY, perlu banyak pengalaman dan pengabdian. "Alhamdulillah, sekarang Ibas telah terpilih dalam Pemilu legislatif, dan tentunya pada saatnya nanti akan mengabdi. Tapi biarkan sekarang di lingkungan DPR terlebih dulu, biar belajar karena memerlukan waktu yang panjang memikul tugas berat," katanya (vivanews. Selasa, 14 Juli 2009, 21:41 WIB)[8]
Memang, tidak ada satu pun aturan yang mengharamkan anak seorang Presiden untuk duduk menjadi anggota legislatif. Tidak ada juga aturan yang melarang istri Presiden untuk berkiprah di di dunia politik sebagai calon presiden. Indonesia adalah negeri merdeka. Siapa pun berhak untuk menentukan nasib dan hajat hidup nya sendiri. Setiap anak bangsa berhak untuk menyambung nyawa sesuai dengan kapasitas dan kompetensi masing-masing. Itulah indah nya hidup di tanah merdeka. Tetapi yang di perlukan di Indonesia ini adalah sesorang yang berkinerja baik agar bisa selalu memajukan negeri Indonesia ini.
CEGAH POLITIK KEKERABATAN
beberapa masyarakat menolak keras adanya politik kekerabatan maka, pada tangal 16 Februari 2011 - Wacana pemerintah melarang kerabat petahanan mencalonkan diri sebagai presiden maupun kepala daerah mendapat dukungan dari para anggota parlemen. Pelarangan itu diperlukan untuk mencegah praktik politik kekerabatan tumbuh menjadi penyakit bagi demokrasi. [9]
Harus adanya sebuah Undang-undang harus melarang praktik politik kekerabatan atau dinasti dalam pemilihan umum presiden dan kepala daerah. Ketentuan ini perlu dimasukkan dalam UU tentang Pilpres dan Pilkada. Harus ada pembatasan dan pengaturan. UU seharusnya memuat larangan bagi suami, istri, anak, atau orang tua dari seseorang yang sedang menjabat sebagai presiden atau kepala daerah untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilu. Larangan bagi keluarga untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilu, menurut dia, jangan dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak politik warga negara. Akan tetapi harus dilihat sebagai upaya agar terciptanya keadilan dan tidak ada nepotisme dalam pemilihan presiden atau kepala daerah. Larangan bagi keluarga tersebut, juga dapat diberlakukan selama yang bersangkutan menjabat sebagai pejabat, atau dibuat aturan waktu khusus, misalnya saja dapat dicalonkan setelah dua kali pemilu. Jangka waktunya itu adalah sebuah kesepakatan. Ini tidak untuk melarang, tetapi mencegah digunakannya kekuasaan untuk kepentingan pribadi[10]
TITIK SIMPUL WACANA
Kesimpulan
Setelah reformasi Dunia perpolitikan di Indonesia kini semakin adanya KKN dimana lahir banyak sebuah politik kekerabatan. Politik kekerabatan dan klan amat berbahaya bagi demokrasi. Apalagi di saat rakyat belum seluruhnya mampu berpikir secara rasional, politik kekerabatan dan klan akan menjadi satu-satunya bahan pertimbangan dalam memilih. Jika demikian, kesamaan derajat menjadi hilang. Peluang untuk menduduki jabatan politik menjadi tidak sama bagi setiap warganegara. Politik kekerabatan dan klan ini bisa dilihat sebagai embrio pembunuh demokrasi.
Memang dihalalkan untuk praktik politik kekerabatan, tetapi yang di pertanyakan dalam benak masyarakat adalah apakah adanya sebuah kinerja yang baik untuk memajukan sebuah daerah/Negara. Dan Politik kekerabatan tidak menjadi masalah sepanjang tokoh politik memiliki kemampuan dan diakui masyarakat.
Akan tetapi, kondisi di Indonesia berbeda. Politik kekerabatan lebih mengedepankan ikatan darah ketimbang kecakapan. Tujuannya hanya untuk mengekalkan kekuasaan keluarga, bukan kesejahteraan rakyat. Itu ancaman bagi eksistensi demokrasi.
Rekomendasi
Pratik politik kekerabatan memang tidak dilarang. Semua masyarakat Indonesia berhak dalam ikut berpartisipasi dalam pencalonan diri sebagai pejabat daerah maupun Negara. Tetapi juga di imbangi dengan adanya sebuah tanggung jawab, ber etika dan kinerja yang baik. Bukan hanya mengandalkan sebuah KKN dari seorang kerabat yang mempunyai jabatan tinggi sehingga dapat menarik kita ikut dalam sebuah jabatan.
DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar